FAKTA SEJARAH MENCENGANGKAN YG DIBELOKKAN ORIENTALIS DN BELUM BANYAK DIKETAHUI UMAT ISLAM :






(Ini rangkuman bahasan DR. Haikal Hassan tentang Peradaban Islam di Indonesia) :




===





وَماَ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ -








*"keterangan: ( [1] s/d[7] bisa dilihat dibawah, di footnote)"*

Ini cara para orientalis, yang *disebarkan oleh orientalis terkemuka Belanda, yg pertama kali bernama "J. Pijnapel" lalu "Snouck Hurgronje" yg notebene "ingin menghancurkan Islam" untuk menutupi sejarah bahwa Indonesia adalah bagian pada kekhilafahan Utsman bin affan*.
*_Oleh karena itu Indonesia patut diperhitungkan_*.


*Pada tahun 640-650 M ada sebuah kerajaan yg ratunya adil bernama RATU SIMA dan anaknya bernama RATU JAYISIMA.*

*Lalu singgah di Kalingga-Jepara, kemudian Ratu Sima dan Putrinya masuk islam dan memerintah dari tahun 646-650 M, dan islam belum berkembang saat itu, lalu ditandai adanya surat-menyurat atau korespondesi antara Ratu Sima pada masa Bani Umayyah untuk di datangkan guru-guru untuk berdakwah.*
*Surat-surat mereka sekarang tersimpan di MUSEUM GRANADA, SPANYOL.* Indonesia adalah salah satu *sasaran atau tujuan sahabat-sahabat nabi untuk berdakwah.*



*Ternyata dakwah Umar bin Abdul Aziz membuat Raja tertarik lalu masuk islam.*

Lalu di tandai juga ada *surat-menyurat (korespondensi) antara Raja Srindra Varma dengan khalifah Umar bin Abdul Aziz* yg juga untuk meminta didatangkannya para guru untuk berdakwah. *Yg kini surat-suratnya di simpan di Museum Oxford, inggris.*


*"Aku berwasiat kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta taat (kepada pemerintahan Islam) walaupun khalifah kalian adalah seorang hamba sahaya dari negeri Habasyah.*
*Sesungguhnya barangsiapa hidup sesudahku niscaya dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku*.
*"Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu serta jauhilah oleh kalian perkara baru yang diada-adakan..



*_(maka khulafaur Rasyidin yg memimpin)_*
*~Thn 634 M kekhalifahan Abu Bakar = 2 thn*
*~Thn 644 M kekhalifahan Umar Bin Khattab = 10 thn*
*~Thn 657 M kekhalifahan Utsman Bin Affan = 13 thn*
*~Thn 661 M kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib = 5 thn.*
*_Jadi totalnya adalah selama 30 thn._*








*Dengan mendalami atau memahami sejarah maka Aqidah kita akan lurus yg dibarengi dengan akhlak mulia yg tercermin dengan adanya rasa prihatin kita dengan keadaan umat.*









*Perlu diketahui:*



~~~~~~~~~~☆~~~~~~~
*

[1] Sumber: H. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu p. Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang, 1979; Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.31; S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39)
[2] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.33)
[3] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.35
[4] Sumber: G. E. Gerini, Futher India and Indo-Malay archipelago
[5] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.38
[6] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39; Pangeran Gajahnata, Sejarah Islam Pertama Di Palembang, 1986; R.M. Akib, Islam Pertama di Palembang, 1929; T. W. Arnold, The Preaching of Islam, 1968.
[7] Sumber: Habib Bahruddin Azmatkhan, Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, h.39.



BAHASAN LANJUTAN
kita perlu tahu bahwa peninggalan Khilafah Utsmaniy di Indonesia masih banyak sekali hingga sekarang. Ada beberapa contoh, silahkan diperhatikan.
1. Jika ada yang mengatakan bentuk kubah masjid di Indonesia adalah dari bentuk stupa candi, itu salah besar karena bentuk kubah yang kita lihat adalah hasil dari arsitek-arsitek muslim di era Khilafah Utsmaniyah. Lihat buktinya, hampir seluruh dunia, memiliki bentuk kubah yang sama, termasuk menara.
2. Ketika kita memasuki masjid atau mushala, bahkan dari luar terkadang terlihat sekali, ada banyak simbol bulan dan bintang. Ada yang tahu itu simbol apa? Sebagian mengatakan itu simbol Islam. Pertanyaannya: kalau memang itu simbol Islam, kenapa Rosul dan Sahabat TIDAK pernah menggunakannya?
Jawaban yang benar adalah itu BUKAN simbol islam melainkan simbol kejayaan dan kesejahteraan dari Khilafah Era Turkiy Utsmaniy. Banyak dari kita sering melihat, memasang mungkin juga membuat simbol itu tetapi banyak pula yang tidak mengerti asalnya. (Lihat foto artikel ini)
3. Gelar Sulthan. Sebelumnya, di Indonesia terdiri dari beberapa kerajaan. Mereka dipimpin oleh seorang Raja. Begitu Raja-Raja ini masuk Islam mereka berganti nama dengan Sulthan, yang artinya penguasa (wilayah tertentu). Kenapa mereka diberi gelar Sulthon, bukan Malik yang berarti Raja? Itu karena mereka hanya menguasai wilayah islam sebagian kecil di daerah mereka berkuasa. Mereka masih berada di bawah wali makkah atau disebut juga syarif makkah
Wali makkah adalah bagian dari Negeri Khilafah. Mereka ditunjuk dan diberhentikan oleh Khalifah. Jadi Sulthon berada dibawah Wali dan Wali berada dibawah Khalifah.
Maka, jika diteliti sejarahnya, setiap Sulthan yang masih hidup hingga sekarang, mereka memiliki kewajiban untuk menerapkan Syariat Islam secara Kaffah sebagai mana Sulthan sebelum mereka. Untuk sementara, hanya Sulthan Brunei Dar Assalam (negeri sebelah) yang berani beritikad baik untuk menerapkan Syariat Islam (walau belum sepenuhnya).
Untuk mengungkap kebenaran sejarah Islam Nusantara yang berkaitan dengan Khilafah Utsmaniy saat ini, memang sangat susah. Terlebih untuk mendapatkan bukti otentik bahwa benar adanya Nusantara ini adalah bagian dari wilayah ke Kekhilafahan Islam. Sangat susah menemukan buku-buku sejarah mengungkap hal ini seolah-olah sengaja menghilangkan fakta ini. Tapi sejarah yang benar pasti akan terungkap.
Banyak bukti otentik yang dapat membuktikan hal tersebut. Bukti ini diantaranya berupa surat resmi dari Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah kepada Khalifah Abdul Aziz dari ke-khalifahan Turki Usmani.
Petikan isi surat tersebut bisa dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari A. Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).
Poin-poin penting isi surat tsb sebagai berikut :
• Wilayah Aceh secara resmi menjadi bagian dari ke-Khalifahan Usmani sejak pemerintahan Sultan Salim (Khalifah Turki Usmani yang sangat ditakuti dan disegani sehingga digelas ”sang Penakluk” oleh Eropah abad 15 M.
• Pengakuan penguasa semua negeri-negeri kaum Muslimin bahwa Turki Usmani adalah penguasa tunggal dunia Islam.
• Adanya perlindungan dan bantuan militer dari Turki Usmani terhadap Aceh di laut dan di darat. Hal ini wajar karena fungsi Khalifah adalah laksana perisai pelindung ummat di setiap wilayah Islam.
• Hukum yang berlaku di Aceh adalah hukum yang sama dilaksanakan di Turki Usmani yaitu hukum Islam.
Dari isi surat dapat disimpulkan bahwa kesultanan Aceh di Sumatera adalah bagian resmi wilayah kekuasaan ke khalifahan Islam Turki Usmani tidak terbantahkan lagi. Hal sama juga berlaku untuk daerah-daerah lain di Nusantara dimana kesultanan Islam berdiri.
BANTUAN MILITER
Khilafah Usmani di Turki tidak berdiam diri ketika diminta untuk membantu Aceh. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh berita tentang pengiriman armada Usmani untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir. Kabar itu tentu menggembirakan umat Islam setempat.
Ketika Sultan Alaidin Riayat Syah II Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, menurutnya Aceh perlu meminta bantuan bala tentara dari Turki. Selain untuk mengusir Portugis di Melaka, juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Dengan pasukan Khilafah Usmani 160 orang dan 200 pasukan dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Al-Qahhar selanjutnya mengerahkan pasukan itu menakluk Batak di pedalaman Sumatera pada 946 H/1539 M.
Dalam indoforum.org yang ditulis oleh sumber anonim disebutkan, seorang sejarawan Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah Usmani dalam penaklukan wilayah sekitar Aceh.
Menurut Taib, perihal itu merupakan bukti perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah Usmani menyerang langsung wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan akademi tentara di Aceh: Askeri Beytul Mukaddes yang diubah menjadi ‘Pasukan Baitul Maqdis’, sehingga lebih sesuai dengan logat Aceh.
Pembentukan ketentaraan itu merupakan bukti “mencetak” pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Dari itu, hubungan Aceh dengan Khilafah Usmani sangat akrab. Aceh jadi bagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.
Nuruddin Ar-Raniry dalam Bustanul Salatin menulis, Sultan Alaidin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadapi Khalifah. Utusan itu bernama Huseyn Effendi. Ia fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.
Pada Juni 1562 M, utusan Aceh itu tiba di Istanbul untuk meminta bantuan ketentaraan Usmani untuk menghadapi Portugis. Duta itu dapat mengelak dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul. Ia mendapat bantuan Khilafah dan menolong Aceh membangkitkan pasukannya sehingga dapat menakluk Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Khilafah terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Pengganti Al-Qahhar II, yaitu Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) kemudian memperbaharui hubungan politik dan ketenteraan dengan Khilafah Usmani.
Hal itu diperkuat oleh sumber sejarah Portugis. Uskup Jorge de Lemos, kepercayaan Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Usmani untuk mendapatkan bantuan ketentaraan. Bantuan itu untuk melancarkan peperangan baru terhadap Portugis.
Pemerintah Aceh berikutnya, Sultan Alaidin Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan lagi hubungan politik dengan Turki. Bahkan, Khilafah Usmani telah mengirim sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Khilafah.
Hubungan akrab antara Aceh dan Khilafah Usmani telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Kapal-kapal atau perahu yang digunakan Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau tongkang yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah ini merupakan wilayah Khilafah Usmani.
Kapal-kapal besar dari Turki itu dilengkapi meriam dan senjata lain yang digunakan Aceh untuk menyerang penjajah Eropa yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara. Aceh tampil sebagai kekuatan besar yang amat ditakuti Portugis, karena diperkuat perlengkapan senjata dari Turki.
Bukti kejayaan Khilafah Usmani menghalang Portugis di Lautan Hindi tersebut amat besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan untuk menunaikan haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropa di Pasar Aleppo (Syria), Kaherah, dan Istanbul; serta kesinambungan laluan perdagangan antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah.
Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Usmani yang berpusat di Turki tampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16 M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahawa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Mekah.
Sejak itu, dia dikenali sebagai Sultan Marhum dan semenjak itu juga nama sultan disebut dalam khutbah Jumat. Menurut sumber setempat, penggunaan gelaran ‘sultan’ ini berlaku setelah dipersetujui Khilafah Usmani (ada juga yang mengatakan dari penguasa Mekah).
Syeikh Wahid mengirim kabar kepada Khalifah di Turki. Realitas itu menunjukkan Mekah berada dalam kepemimpinan Khilafah, dan Buton memiliki hubungan ‘struktur’ secara tidak kuat dengan Khilafah Turki Usmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Mekah.
Sementara itu, di wilayah Sumatera Barat, Pemerintah Alam Minangkabau yang memanggil dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercayai adalah adik lelaki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahwa pemerintah pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Usmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut. Ini memberikan maklumat bahwa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Usmani.
Di samping adanya hubungan langsung dengan Khilafah Usmani, ada beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, misalnya Kesultanan Ternate. Pada tahun 1570an, ketika perang Soya-soya melawan Portugis, Sultan Ternate, Baabullah, dibantu Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada perahu dan Demak dengan pasukan Jawa.
Begitu juga Aceh dengan armada laut yang perkasa dan kekuatan 30.000 buah kapal perang telah menyekat pelabuhan Sumatera dan menyekat pengiriman bahan makanan dan peluru Portugis melalui India dan Selat Melaka.
Berdasarkan beberapa cerita di atas, jelas bahwa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Usmani. Bentuk hubungan tersebut berbentuk perdagangan, ketenteraan, politik, dakwah, dan kekuasaan.(indoforum.org)
Masih banyak fakta-fakta lain yang seakan ‘dikubur’ oleh Penjajah untuk melupakan kaum Muslim Indonesia dari sejarah yang benar. Namun, Allah Dzat Yang Maha Menyembunyikan, tidak akan mengubur kebenaran, karena Cahaya Khilafah di ufuk sudah semakin terang.
WALISONGO ITU UTUSAN KHILAFAH SETELAH SAHABAT
Ini wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara Hizb Tahrir Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya:
Bagaimana peran khilafah dalam penyebaran Islam di Indonesia?
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 7 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Syam yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Syam.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Syam. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).
Dari para wali itu juga selain dari para sahabat, kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.
Apakah khilafah perlu ditegakkan lagi dalam kondisi kekinian?
Iya, harus. Kita tahu, sejak runtuhnya khilafah Islam oleh konspirasi illuminati (perang dunia I dan II) pada 3 Maret 1924, 92 tahun lalu, umat Islam kehilangan institusi pemersatu umat dan pelaksana dakwah. Wilayah dunia Islam yang semula sangat luas kemudian dikerat-kerat oleh sistim dajjalis menjadi negara kecil-kecil yang berdiri atas nama nasionalisme. Harkat martabat umat dilecehkan, darah umat ditumpahkan, dan pemikiran umat disimpangkan.
Pendek kata, tanpa khilafah, umat mengalami keterpurukan yang luar biasa, yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebagaimana yang terjadi di Syam, Filipina, Myanmar, dan belahan bumi lainnya. Benarlah, ketika para ulama menyebut tiadanya khilafah itu sebagai ummul jarâim atau pangkal timbulnya aneka penderitaan, keburukan, kemelaratan, ketidakadilan, kejahatan, dsb.
Maka, menegakkan khilafah merupakan kewajiban besar bagi seluruh umat untuk tegakknya kembali kemuliaan. Para ulama menyebut khilafah sebagai min a’zhami l-wajibaat (diantara sebesar-besarnya kewajiban). Oleh karena itu, wajib pula bagi kita semua untuk mengerahkan segenap daya dan upaya guna mewujudkan cita-cita mulia ini. Inilah al-qadhiyyatul Muslimin al-mashîriyyah, atau persoalan utama umat di seluruh dunia yang sesungguhnya.
Bagaimana metode penegakan kembali khilafah yang sesuai dengan contoh rasul?
Ringkasnya, penegakan kembali khilafah sesuai yang dicontohkan rasul diawali dengan kegiatan pembinaan dan pengkaderan. Ini tahap pertama, yang disebut marhalah tatsqif wa takwin.
Selanjutnya tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’al ummah) dan perjuangan siasah (kifahus-siyasi) melalu usaha pembentukan opini dan kesadaran umat yang dilakukan secara langsung melalui seminar, diskusi, tabligh akbr, dan lainnya, ataupun secara tidak langsung melalui media cetak, elektronik maupun online, serta usaha diraihnya support tokoh yang prihatin umat dari kalangan ahlul quwwah melalui kontak dan pendekatan intensif hingga tercapai tahap istilamul hukmi. (mediaumat.com, 29/8/2014)
Dan berdasarkan pada ijma seluruh ulama utama semua madzhab, khilafah itu wajib, yang berdasar pada dalil kitab dan jalan para utusan Tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar