Masa-masa kecil dulu, aku masih ingat ada kyai-kyai kampung yang menjadi sentral dari sgala kesibukan ubudiyah bagi sebagian warga disekitarnya. Jika ada hajatan-hajatan baik bersifat keluarga maupun umum, kehadiran seorang kyai sangat dibutuhkan waktu itu. Dari meng-imami musholla, berdo’a, baca fatihah untuk acara khitanan, perkawinan, pindah rumah sampai mengaji untuk orang mati. Kyai waktu itu sangat tawadhu, tidak pernah ada waktu itu ada seorang kyai yang tingkat ekonominya paling menonjol. Pasti sederajat dan rata-rata untuk kelas seorang kyai dengan rakyat biasa lainnya. Namun warga sangat menghormatinya.
Jika masa-masa ramadhan seperti ini tiba, maka rumah seorang kyai waktu itu sangat makmur. Dari jajan pasar, gula, teh dan sembako banyak yang disedekahkan warga sekitar untuk sang kyai. Dan diakhir ramadhan zakat fitrah menumpuk di rumah sang kyai. Waktu itu aku tidak berfikir, beras sebanyak itu terus dibagi kemana? Tidak, aku ikut-ikut saja ber-zakat fitrah kerumah kyai. Tanpa ada rasa su’udzan semua warga percaya bahwa Insya Allah zakatnya akan di terima dan puasanya menjadi sempurna jika sudah zakat fitrah ke kyai.
Di masa kemudian, saat banyak anak-anak muda memahami Islam secara moderat, budaya kirim zakat ke kyai sudah bergeser, minimal ke musholla atau ke pengurus-pengurus masjid dan banyak pula panitia-panitia yang siap menampung dan membagikan zakat fitrah. Bahkan bermunculan kritik-kritik kepada sang kyai karna telah menumpuk-numpuk zakat. Wallahu’alam.
Di Era masa kini, rupanya wajah-wajah kyai tempo doeloe kembali hadir di permukaan era yang serba teknologi. Zakat sudah bisa dengan SMS, bisa dengan HP, atau internet Banking. Dan ‘kyai-kyai’ zaman dulu tampil dengan wajah baru, ada berupa ‘istana zakat’ ada berupa ‘lembaga zakat si upik’ ada berupa ‘badan zakat si budi’ dan masih banyak lagi rupa-rupa wajah sang ‘kyai’ di era kini dan background sang kyai pun terpampang di spanduk-spaduk di brosur-brosur, di majalah-majalah, di media-media lainnya….seolah memanggil-manggil …ayo berzakat…ayo berinfak…ayo bersedekah melalui kyai tersebut. Persis…aku jadi ingat kembali masa-masa kyai di kampung…persis sama.
Jika masa-masa ramadhan seperti ini tiba, maka rumah seorang kyai waktu itu sangat makmur. Dari jajan pasar, gula, teh dan sembako banyak yang disedekahkan warga sekitar untuk sang kyai. Dan diakhir ramadhan zakat fitrah menumpuk di rumah sang kyai. Waktu itu aku tidak berfikir, beras sebanyak itu terus dibagi kemana? Tidak, aku ikut-ikut saja ber-zakat fitrah kerumah kyai. Tanpa ada rasa su’udzan semua warga percaya bahwa Insya Allah zakatnya akan di terima dan puasanya menjadi sempurna jika sudah zakat fitrah ke kyai.
Di masa kemudian, saat banyak anak-anak muda memahami Islam secara moderat, budaya kirim zakat ke kyai sudah bergeser, minimal ke musholla atau ke pengurus-pengurus masjid dan banyak pula panitia-panitia yang siap menampung dan membagikan zakat fitrah. Bahkan bermunculan kritik-kritik kepada sang kyai karna telah menumpuk-numpuk zakat. Wallahu’alam.
Di Era masa kini, rupanya wajah-wajah kyai tempo doeloe kembali hadir di permukaan era yang serba teknologi. Zakat sudah bisa dengan SMS, bisa dengan HP, atau internet Banking. Dan ‘kyai-kyai’ zaman dulu tampil dengan wajah baru, ada berupa ‘istana zakat’ ada berupa ‘lembaga zakat si upik’ ada berupa ‘badan zakat si budi’ dan masih banyak lagi rupa-rupa wajah sang ‘kyai’ di era kini dan background sang kyai pun terpampang di spanduk-spaduk di brosur-brosur, di majalah-majalah, di media-media lainnya….seolah memanggil-manggil …ayo berzakat…ayo berinfak…ayo bersedekah melalui kyai tersebut. Persis…aku jadi ingat kembali masa-masa kyai di kampung…persis sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar