Dahulu. Mantan Gubernur BI, yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara, pernah ditahan Laksus, gara-gara khutbah Idul Fitri, di Jakarta, membuat plesetan, di mana Pancasila, sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, diplesetkan menjadi ‘Keuangan Yang Maha Kuasa’.
Sebuah kritik di tahun 80 an oleh alrmarhum Sjafruddin Prawiranegara, yang sudah melihat gejala korupsi yang maha dahsyat.
Perbuatan korupsi, sogok, suap, dikalangan para pejabat, itu disebabkan mereka sudah menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' dan sesembahan mereka. Sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, mestinya menjadikan kehidupan bangsa ini lebih agamis, dan menjauhkan diri, terutama dari perbuatan yang memuja selain Allah Azza Wa Jalla.
Tetapi negara yang menganut falsafah dan ideologi Pancasila, faktanya menjadi negara bobrok, negara yang dikuasai para bandit, mafia, koruptor, penipu, dan bajingan. Aparat penegak hukum yang mestinya menjadi penegak hukum, dan memberikan rasa keadilan telah bertekuk lutut dihadapan para bandit, mafia, koruptor, penipu dan bajingan.
Alangkah malangnya republik ini. Negara yang gemah ripah loh jinawe telah menjadi negara yang ‘kere’. Karena semuanya telah kalah melawan para perusak negara, sehingga Indonesia tak mampu bangkit. Karena semuanya telah menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' mereka, sebagai sesembahan mereka, dan hidup mereka hanyalah diorientasikan untuk mengejar ‘uang’ dan ‘uang’. Tidak yang lain. Semuanya hanya mengabdi kepada ‘uang’.
Orang cina mempunyai filsafah yang mereka katakan, ‘Tak ada tembok yang tidak dapat ditembus dengan peluru emas’. Artinya , tidak ada pejabat negara yang tidak bisa ditembus dengan ‘uang’ alias ‘duit’. Setiap pejabat mesti doyan duit, dan rakus terhadap harta kekayaan. Inilah yang menjadikan mereka itu mangsa yang empuk bagi para pengusaha cina.
Tak heran budaya sogok suap yang mula-mula dijalankan para pengusaha cina yang ingin mendapatkan proyek, izin, dan perlindungan, dan sekarang menerima sogok suap, sudah menjadi ‘aqidah’ para pejabat.
Sogok suap tidak lagi monopoli para pengusaha keturunan cina, tetapi setiap pengusaha, kebanyakan mereka mempraktekkan sogok suap. Kasus Gayus membuka tabir hitam yang selama ini menyelimuti kehidupan rakyat. Semuanya menjadi terang benderang.
Arthalyta, Syamsul Nursalim, Bank Century, dan lainnya, hanya memberikan gambaran, di mana para pejabat Indonesia dengan sangat mudah dikalahkan dengan ‘uang’. Tidak ada sekarang usaha yang tidak berkaitan dengan sogok dan suap.
Karena para pejabat rakus dan tamak dengan harta, dan mereka menjadikan ‘uang’ sebagai tuhan mereka, maka kehidupan rakyat ini, semakin lama semakin tidak lagi lebih baik. “Moral hazard’ ada di mana-mana. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah mendarah daging, sampai ke tulang sungsum. Tidak mungkkin akan dapat dihapus.
Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tidak menghasilkan perbaikan apa-apa. Hanya menghasilkan segala kejahatan menjadi terbuka. Di zaman Soeharto ditutupi, tetapi sekarang di Orde Reformasi menjadi telanjang. Para penipu, maling, koruptor, dan penjahat, lebih berani dengan terang-terangan melakukan kejahatan mereka.
Mereka tidak takut dengan ‘bui’ toh mereka dapat membayar para penjaga penjara. Mereka dapat pulang atau keluar penjara sesuka hati. Putusan pengadilan tak membuat para penjahat itu menjadi jera. Karena putusan yang akan mereka terima pasti ringan.
Apalagi para koruptor yang telah melakukan kejahatan mereka dengan senang menjalani kehidupan di penjara. Karena penjara hanyalah formalitas belaka.
Mereka bisa meninggalkan penjara, kapan saja diinginkan. Apalagi yang melakukan kejahatan tokoh partai politik. Dengan sangat mudah bisa keluar.
Bahkan yang lebih dahsyat, penjara dapat menjadi tempat mengendalikan kejahatan yang mereka lakukan. Seperti bisni narkoba. Bisnis narkoba dikendalikan dari dalam penjara oleh para bandar narkoba. Luar biasa. Semuanya mereka pasti bekerjasama dengan aparat. Tidak mungkin para penjahat itu dengan mudah bisa berbuat seperti itu.
Mantan anggota legislatif, menteri gubernur, bupati, pejabat bank, dan lainnya, mereka tak takut dipenjara. Mereka bisa keluar dengan waktu yang singkat. Itu semuanya sudah terbukti. Bagaimana Gayus, yang bukan pejabat tinggi, yang golongan III A, bisa dengan mudah keluar masuk penjara, apalagi mereka yang mempunyai jabatan dengan sangat mudah dapat keluar penjara.
Semuanya dapat berlangsung, karena semuanya menjadi pemuja, penyembah,
pemburu yang namanya ‘uang’. Uang menjadi segalanya. Etika, moral, dan agama, hanyalah ada di masjid-masjid. Apalagi, banyak tokoh agama, partai Islam, yang mereka juga sangat doyan dengan harta, dan menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' sesembahan mereka. Maka, tak heran kemungkaran bisa disulap menjadi kebenaran, dan kejahatan bisa disulap menjadi kemaslahatan. Uang 'haram' menjadi uang 'halal'. Ada pepatah uang siapapun kalau sudah masuk ke kantong 'ulama' menjadi shadaqoh. Semua itu ditangan para ahli agama menjadi boleh.
Inilah keadaan yang kita alami bersama saat ini. Semua lapisan dan golongan menjadi penyembah ‘uang’. ‘Uang’ telah menjad ‘Tuhan’ semesta alam. ‘Uang’ lah segala-galanya.
Maka apa yang dikatakan oleh almarhum Sjafruddin Prawiranegara yang mengatakan ‘Keuangan Yang Maha Kuasa”, kondisi sekarang inilah buktinya. Negara carut-marut para penjahat bisa mengatur segalanya. Wallahu’alam.
Eramuslim, Senin, 22/11/2010 12:58 WIB
Sebuah kritik di tahun 80 an oleh alrmarhum Sjafruddin Prawiranegara, yang sudah melihat gejala korupsi yang maha dahsyat.
Perbuatan korupsi, sogok, suap, dikalangan para pejabat, itu disebabkan mereka sudah menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' dan sesembahan mereka. Sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, mestinya menjadikan kehidupan bangsa ini lebih agamis, dan menjauhkan diri, terutama dari perbuatan yang memuja selain Allah Azza Wa Jalla.
Tetapi negara yang menganut falsafah dan ideologi Pancasila, faktanya menjadi negara bobrok, negara yang dikuasai para bandit, mafia, koruptor, penipu, dan bajingan. Aparat penegak hukum yang mestinya menjadi penegak hukum, dan memberikan rasa keadilan telah bertekuk lutut dihadapan para bandit, mafia, koruptor, penipu dan bajingan.
Alangkah malangnya republik ini. Negara yang gemah ripah loh jinawe telah menjadi negara yang ‘kere’. Karena semuanya telah kalah melawan para perusak negara, sehingga Indonesia tak mampu bangkit. Karena semuanya telah menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' mereka, sebagai sesembahan mereka, dan hidup mereka hanyalah diorientasikan untuk mengejar ‘uang’ dan ‘uang’. Tidak yang lain. Semuanya hanya mengabdi kepada ‘uang’.
Orang cina mempunyai filsafah yang mereka katakan, ‘Tak ada tembok yang tidak dapat ditembus dengan peluru emas’. Artinya , tidak ada pejabat negara yang tidak bisa ditembus dengan ‘uang’ alias ‘duit’. Setiap pejabat mesti doyan duit, dan rakus terhadap harta kekayaan. Inilah yang menjadikan mereka itu mangsa yang empuk bagi para pengusaha cina.
Tak heran budaya sogok suap yang mula-mula dijalankan para pengusaha cina yang ingin mendapatkan proyek, izin, dan perlindungan, dan sekarang menerima sogok suap, sudah menjadi ‘aqidah’ para pejabat.
Sogok suap tidak lagi monopoli para pengusaha keturunan cina, tetapi setiap pengusaha, kebanyakan mereka mempraktekkan sogok suap. Kasus Gayus membuka tabir hitam yang selama ini menyelimuti kehidupan rakyat. Semuanya menjadi terang benderang.
Arthalyta, Syamsul Nursalim, Bank Century, dan lainnya, hanya memberikan gambaran, di mana para pejabat Indonesia dengan sangat mudah dikalahkan dengan ‘uang’. Tidak ada sekarang usaha yang tidak berkaitan dengan sogok dan suap.
Karena para pejabat rakus dan tamak dengan harta, dan mereka menjadikan ‘uang’ sebagai tuhan mereka, maka kehidupan rakyat ini, semakin lama semakin tidak lagi lebih baik. “Moral hazard’ ada di mana-mana. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah mendarah daging, sampai ke tulang sungsum. Tidak mungkkin akan dapat dihapus.
Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tidak menghasilkan perbaikan apa-apa. Hanya menghasilkan segala kejahatan menjadi terbuka. Di zaman Soeharto ditutupi, tetapi sekarang di Orde Reformasi menjadi telanjang. Para penipu, maling, koruptor, dan penjahat, lebih berani dengan terang-terangan melakukan kejahatan mereka.
Mereka tidak takut dengan ‘bui’ toh mereka dapat membayar para penjaga penjara. Mereka dapat pulang atau keluar penjara sesuka hati. Putusan pengadilan tak membuat para penjahat itu menjadi jera. Karena putusan yang akan mereka terima pasti ringan.
Apalagi para koruptor yang telah melakukan kejahatan mereka dengan senang menjalani kehidupan di penjara. Karena penjara hanyalah formalitas belaka.
Mereka bisa meninggalkan penjara, kapan saja diinginkan. Apalagi yang melakukan kejahatan tokoh partai politik. Dengan sangat mudah bisa keluar.
Bahkan yang lebih dahsyat, penjara dapat menjadi tempat mengendalikan kejahatan yang mereka lakukan. Seperti bisni narkoba. Bisnis narkoba dikendalikan dari dalam penjara oleh para bandar narkoba. Luar biasa. Semuanya mereka pasti bekerjasama dengan aparat. Tidak mungkin para penjahat itu dengan mudah bisa berbuat seperti itu.
Mantan anggota legislatif, menteri gubernur, bupati, pejabat bank, dan lainnya, mereka tak takut dipenjara. Mereka bisa keluar dengan waktu yang singkat. Itu semuanya sudah terbukti. Bagaimana Gayus, yang bukan pejabat tinggi, yang golongan III A, bisa dengan mudah keluar masuk penjara, apalagi mereka yang mempunyai jabatan dengan sangat mudah dapat keluar penjara.
Semuanya dapat berlangsung, karena semuanya menjadi pemuja, penyembah,
pemburu yang namanya ‘uang’. Uang menjadi segalanya. Etika, moral, dan agama, hanyalah ada di masjid-masjid. Apalagi, banyak tokoh agama, partai Islam, yang mereka juga sangat doyan dengan harta, dan menjadikan ‘uang’ sebagai 'Tuhan' sesembahan mereka. Maka, tak heran kemungkaran bisa disulap menjadi kebenaran, dan kejahatan bisa disulap menjadi kemaslahatan. Uang 'haram' menjadi uang 'halal'. Ada pepatah uang siapapun kalau sudah masuk ke kantong 'ulama' menjadi shadaqoh. Semua itu ditangan para ahli agama menjadi boleh.
Inilah keadaan yang kita alami bersama saat ini. Semua lapisan dan golongan menjadi penyembah ‘uang’. ‘Uang’ telah menjad ‘Tuhan’ semesta alam. ‘Uang’ lah segala-galanya.
Maka apa yang dikatakan oleh almarhum Sjafruddin Prawiranegara yang mengatakan ‘Keuangan Yang Maha Kuasa”, kondisi sekarang inilah buktinya. Negara carut-marut para penjahat bisa mengatur segalanya. Wallahu’alam.
Eramuslim, Senin, 22/11/2010 12:58 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar