Minggu, 03 April 2016

Identifikasi Kebenaran


Ingat sosok Charlie Chaplin? Betul, Charlie Chaplin yang itu. Memiliki kumis mirip Hitler. Topi tinggi hitam, jas sewarna dengan tongkat panjang. Plus gaya berjalan yang aneh dengan sepatu yang janggal. Sekarang saya ingin bercerita tentang dia.
Hingga dekade 70-80-an namanya masih populer. Sampai-sampai digelarlah sebuah lomba mirip Charlie Chaplin. Ratusan orang yang lulus audisi, yang mendaftar entah berapa banyaknya. Salah satu dari juri yang ditunjuk untuk menilai kemiripan peserta adalah adik kandung Charlie Chaplin sendiri.
Diam-diam, Charlie Chaplin ternyata ikut mendaftar dan ia berlomba dengan ratusan peserta lain. Beradu mirip dengan sosok Charlie Chaplin, dirinya sendiri. Lomba pun usai. Hasil diumumkan. Tapi, yang mengejutkan adalah, Charlie Chaplin yang asli tidak memenangkan perlombaan. Ironis. Ia hanya mampu duduk di urutan ketiga dalam lomba mirip dirinya sendiri.
Ternyata, tidak mudah menilai kebenaran. Dalam kasus Charlie Chaplin, para juri, bahkan adik kandungnya sendiri, telah gagal mengidentifikasi keaslian. Bahkan lebih parah lagi, para juri telah memilih seseorang yang secara subyektif dianggap lebih dekat dengan sosok yang asli.
Dalam kasus ini, kesalahan mengidentifikasi kebenaran, mungkin tidak berdampak besar. Paling-paling, hanya ketersinggungan personal. Itupun, sepanjang saya ketahui, tidak ada laporan yang menyebutkan Charlie Chaplin marah besar. Sebaliknya, Charlie Chaplin adalah komedian brilian yang gemar mengeksplorasi psikologi manusia dan respon sosial.
Bagaimana jika pada tataran yang lebih besar, kita melakukan kesalahan identifikasi kebenaran? Bahkan, karena euforia sosial serta nuansa glamour, kita telah menilai yang tidak benar menjadi benar. Masyarakat kita, sungguh mayoritasnya adalah sebuah struktur yang dilahirkan dan dibentuk oleh imej-imej sosial. Mereka lebih menghargai orang yang kaya, daripada sosok yang sederhana. Mereka lebih hormat pada pangkat, daripada mencari tahu tentang hakikat. Dengan segala imaji, kita telah diarahkan untuk lebih mudah mengakui kebaikan universal sebagai kebenaran, daripada menerima persepsi hitam putih sebagai pilihan.
Berpikiran hitam-putih, benar-salah, disebut sebagai tradisi kaum puritan, jumud dan tertinggal. Karena konon ada area abu-abu yang harus diperhitungkan. Padahal, selamanya tak ada hitungan hampir menang atau hampir benar. Hampir menang sama dengan kalah. Hampir benar, sama dengan salah.
Untuk urusan benar dan salah, kita tak mungkin menerima semua pertimbangan agar boleh diterima semua golongan. Untuk urusan benar dan salah, tak ada posisi banci yang sering disebut dengan kata yang dianggap hebat: moderat!
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita, “Berkatalah benar meski pahit.” Ada dua masalah yang harus kita selesaikan dalam konteks ini. Pertama, kita harus melakukan identifikasi kebenaran. Kedua, setelah mengetahui kebenaran, kita berani memikulnya, meski tak ringan.
Buya Hamka pernah mengatakan, sedih itu mengikat kita. Sedangkan marah, akan mendorong kita. Dalam mencari kebenaran, kita tak boleh digerakkan oleh satu di antara keduanya; sedih atau marah. Tapi ketika kebenaran sudah teridentifikasi, kita harus digerakkan oleh kesedihan dan kemarahan. Sedih atas kebenaran yang buram dan marah atas kezaliman yang terang.
Agama ini sungguh sederhana. Benar dikatakan sebagai kebenaran. Salah disebutnya sebagai kesalahan. Kata, Kafir, tak bisa dianggap sebagai kata yang kasar atau kejam. Kafir adalah kafir, tak ada hubungannya dengan kata-kata yang kasar atau lembut. Tapi imaji yang dibentuk, orang-orang Muslim yang menyebut mereka di luar Islam sebagai kafir, sebagai kaum biadab yang tak berbudi dan anti toleransi.
Ketika mereka yang mengerti agama (para pemimpin kita, atau mereka yang sepihak merasa memimpin kita), merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan, mereka belum tentu benar. Lalu mereka melakukan justifikasi, agar seolah-olah benar. Lalu karena justifikasi itu, kita menganggap keputusan itu benar. Maka terjadi kesalahan ganda yang fatal. Pertama, para pemimpin itu melakukan justifikasi atas kepentingannya sendiri. Kedua, kita menganggap kepentingan itu sebagai kebenaran. Karena itulah, kemaksiatan yang dilakukan orang-orang berilmu jauh lebih berbahaya jika kemaksiatan yang sama dilakukan oleh orang-orang awam.
Penerima hadiah Nobel fisika, Steven Weinberg yang ateis pernah berkata, “Dengan atau tanpa agama, orang baik akan berbuat baik dan orang jahat akan berbuat jahat. Agamalah yang menjadikan orang baik berbuat jahat.”
Seharusnya kita mampu membuktikan teori Steven Weinberg di atas salah besar. Kita harus mampu dan berani mengatakan, “Dengan tanpa agama, orang baik akan berbuat baik dan orang jahat akan berbuat jahat. Tapi diperlukan agama untuk membuat orang-orang jahat berubah menjadi dan melakukan kebaikan.”

Tidak ada komentar: