Jumat, 29 April 2016

FUNGSI MASJID




Pertama kali dibangun, Masjid Nabawi begitu sederhana. Lantainya tanah. Dinding dan atapnya dari pelepah daun kurma. Namun, Masjid Nabawi pada saat itu multi-fungsi.
Masjid di saat itu bukan saja berfungsi untuk ibadah mahdhah saja. Tapi juga ibadah ghair mahdhah yg lainnya. Bukan saja tempat shalat, berdzikir, berdoa, membaca Al Quran saja. Melainkan juga sebagai tempat pendidikan, politik, pemberian santunan sosial, latihan militer, persiapan perang, tempat musyawarah, tempat mendamaikan mereka yg bersengketa, menerima tamu kenegaraan, tempat pengobatan korban peperangan, pusat informasi dan penerangan, pusat pemerintahan, menikah dan lain sebagainya.

Dari masjid lag bermunculah tokoh hebat sekaliber Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat lainnya yg luar biasa. Dari masjid pula muncul tokoh hebat sekaliber Umar bin Abdul Aziz hingga Muhammad Al Fatih.
Dewasa ini, masjid memang mengalami degradasi fungsi. Jika bukan waktu shalat, masjid akan hening dan sepi ditinggal jamaahnya.
Hanya beberapa hal saja yg dilarang dilakukan di masjid:
1. Melakukan perdagangan.
"Bila kamu melihat orang bertransaksi di dalam masjid, doakanlah mudah-mudahan Allah SWT tidak menguntungkan perdagangannya." (HR. Nasa'i dan Tirmidzi)
2. Mencari barang yg hilang.
"Siapa yg mendengar di masjid mengumumkan barangnya yg hilang, doakanlah semoga Allah tak mengembalikan barang-barang yg hilang itu." (HR. Muslim)
3. Bersyair dengan memuji orang zhalim, mengejek sesama orang beriman, dan berkata kotor.
4. Mengganggu orang lain yg sedang melaksanakan ibadah mahdhah.
5. Duduk melingkar untuk kepentingan dunia.

Sabtu, 23 April 2016

ASAL KATA I-N-D-O-N-E-S-I-A










Benarkah, nama negara kita INDONESIA di beri nama sesuai dgn akronim para Wali (WALI SONGO) ? :
1. I - Ibrahim Malik/Sunan Gresik
2. N - Nawai Macdhum / Sunan Bonang
3. D - Dorojatun R. Khosim/ Sunan Drajat
4. O - Oesman R. Djafar Sodiq/ Sunan Kudus
5. N - Ngampel R. Rahmat / Sunan Ampel
6. E - Eka Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati
7. S - Syaid Umar / Sunan Murya
8. I - Isyhaq Ainul Yaqin / Sunan Giri
9. A - Abdurahman R. Syahid / Sunan Kalijaga...
Bahkan yang lebih unik lagi, yg betikut ini :
“Kemerdekaan Indonesia Terdapat Pada Al-Quran Surah Al-Balad”
Pernahkah kita mengetahui bahwa INDONESIA ternyata lahir bukan karena suatu KEBETULAN..?
Setiap sesuatu, ada saatnya, ada masanya & bukan suatu kebetulan semata..!!!
Begitu pula untuk negeri kita ini…
Kata “INDONESIA” tentu kita sdh tdk asing lagi,Tapi pernahkah iseng2 kita hitung huruf2 yang ada di kata “INDONESIA”…
Kalau belum pernah, mari kita coba hitung2an…
I = 9
N = 14
D = 4
O = 15
N = 14
E = 5
S = 19
I = 9
A = 1
Mari kita Coba teliti, dari sekian banyak angka, angka yg muncul hanya angka…”9, 1, 4 & 5”.
Ternyata angka ini sama dgn angka tahun Kemerdekaan “INDONESIA 1945”.
Tentunya angka ini bukan KEBETULAN,tapi angka ini memang sudah ditentukan di takdir kan oleh ALLAH SWT.
Angka atau Nomor cantik ini memang “dipersembahkan” khusus utk bangsa INDONESIA tercinta ini.
Sekarng kita lanjutkan lagi,coba angka2 yg diatas tadi kita JUMLAH kan.
Maka hasil penjumlahan kita itu akan dptkan angka “90”,Angka yang cukup SEMPURNA.
Apabila angka “90” kita hubungkan dengan nama surat dlm Al-qur’an : Terdpt pd surat apa angka “90” ?
Angka “90” tepat ada pada surat “Al-Balad” yang artinya “NEGERI”…
Ternyata bukan hanya kemerdekaan yang telah dipersiapkan, tapi INDONESIA juga telah dinyatakan dalam Al-Quran bahwa wilayah ini memang sebuah NEGERI yg penuh dengan Rahmat dan karunia ILLAHI…
Lihat lah Di dalam pembukaan atau mukadimah UUD 45 terdapat kalimat
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Maha Benar Allah Dengan Segala FirmanNya..

Rabu, 20 April 2016

Konflik Hubungan TNI dan POLRI, Grand Design untuk Pelemahan NKRI

Ulasan Letnan Jenderal TNI Mar (Purn.) Suharto terkait:
"Konflik Hubungan TNI dan POLRI, Grand Design untuk Pelemahan NKRI"
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Pada kesempatan ini apa yang akan saya sampaikan adalah pendapat pribadi saya. Jangan dianggap ini sebagai pendapat TNI. Apa yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil analisa saya terutama menyangkut persoalan skema pelemahan internal NKRI, yang kini muncul kepermukaan menjadi skema konflik TNI-Polri.
Kalau boleh saya katakan, apa yang dihasilkan oleh Reformasi 1998, menurut saya adalah sebuah penyimpangan. Karena reformasi itu hadir begitu cepat, sedang kita sendiri belum siap. Sehingga perjalanan reformasi ini kemudian “dibajak” oleh orang-orang yang telah siap finance dan programnya. Mereka adalah empat belas menteri yang mengkhianati Pak Harto. Merekalah yang kemudian menjadi “lokomotif” yang menyalip di tengah jalan.
Kembali kepada TNI dan Polri. Saya merasakan ini memang suatu kesengajaan. Kalau mau jujur saya katakan bahwa TNI dan Polri merupakan suatu badan yang berbeda. TNI itu adalah suatu institusi kombatan (tempur). Sedangkan Polri itu bukan institusi kombatan. Polri adalah non kombatan.
Polri itu sebetulnya hanya menangani apa yang disebut dengan crime justice system, atau yang lebih kita kenal dengan Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat (Tramtibmas). Tapi apa lacur pikiran kita dibelokkan sehingga dengan serta merta kita ikut latah dengan istilah pertahanan dan keamanannya TNI, seakan sama dengan istilah keamanannya Polri. Itu tidak betul. Keamanan ini security. Security as a whole include di dalamnya.
Dahulu masalah itu diributkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, itu sudah betul. Ironisnya sekarang setelah institusi TNI-Polri dipisah kok seakan semua setuju. TNI sebagai kombatan sudah kembali ke barak, dan meninggalkan sosial politiknya. Tapi ketika saya tanya, apakah Polisi Back to barrack? Tidak. Bahkan Polisi dipersenjatai seperti kombatan.
Ketika saya masih menjadi Irjen Dephan, saya habis-habisan menentang ini. Kenapa minta senjata AK? AK 97 adalah senjata kombatan bukan senjata Polisi. Senjata Polisi hanyalah untuk memberikan peringatan dan untuk membela diri. Makanya Polisi di Inggris senjatanya pakainya pentungan. Di Indonesia, Polisi malah dipersenjatai, pangkatnya persis pangkat tentara. Jenderal itu pangkat tentara bukan pangkat polisi. Kalau pangkat Polisi yang betul ya Inspektur, Komisaris, Ajun, sampai dengan Super Intendan. Tapi kita tidak, kita perkuat pangkat sama dengan Jenderal. Brimob disusun sampai susunan tempur, dulu saya sampai terkejut ketika hendak diberikan tank.
Jadi kita tidak tahu lagi mana yang kombatan dan mana yang non kombatan. Pada waktu acara di Kampus UNAIR, yang dihadiri pula oleh beberapa petinggi Polisi, saya sampaikan kalau nanti sistemnya seperti ini, polisi yang tidak back to barrack. Kalau tidak back to barrack nanti kewenangan Polisi melampaui kapasitasnya. Siap tidak siap, mau tidak mau, nanti akan jadi tirani baru. Nah apa yang sekarang kita rasakan ini harus diwaspadai. Apalagi DPR sekarang tidak mengerti mana ketahanan mana keamanan sehingga secara membabi buta menyatakan keamanan tugas polisi, pertahanan tugas TNI, ini yang saya kira harus kita pelajari lebih mendalam.
Kalau kita belum bisa mendefinisikan dengan benar fungsi dan peran TNI-POLRI, maka sulit bagi kita mengandalkan keterlibatan mereka untuk memperkuat NKRI.
Kenapa saya katakan polisi kewenangannya melampaui kapasitasnya? Pertama, polisi di bawah presiden melampaui kapasitasnya, di negara yang paling maju dimanapun tidak ada polisi di bawah presiden. Ini kewenangan melampaui kapasitasnya. Apalagi sekarang kita melihat kalau sidang kabinet, Polri hadir, panglima TNI juga hadir. Bagaimana kita tidak mengatakan bahwa TNI dan Polri tidak terlibat dalam politik?!
Sekali lagi saya katakan pendapat saya, kalau salah dibuang, kalau benar saya kira bisa kita lanjutkan.
Untuk itu, sekarang bagaimana solusi untuk mendinginkan ini. Sulit. Kalau kita berkaca pada sistem yang ada ini memang sulit. Belum lagi ada kata kecemburuan sosial, anak-anak saya itu kalau cerita diam-diam dan dibelakang. Saya tanya, “Le, kenapa kamu tidak akur dengan polisi? Bagaimana ndan, kita itu gajian satu bulan sekali dia gajian tiap hari.” ini guyonan tapi menyengat. Karena masalah itu, kita paten-patenan.
Tahun 1998 yang kita selamatkan mereka. Ditahun itu kalau Polisi diuber-uber, kita yang selamatkan. Sampai Brimob yang ada di perempatan, bila tidak ada Marinir, sudah habis itu.
Jadi, itu yang saya terus ingat. Itu salah satu kelebihan. Ada satu kapasitas lagi, Polisi mengurus mobil, BPKB, STNK, itu kan pajak-pajak mobil. Itu sebetulnya sektor keuangan, ranahnya Depkeu, bukan ranahnya polisi.
Waktu saya Irjen ditahun 2000, ada lima (persoalan, red) yang diribut-ributkan, ada di Tempo. Lucu kalau saya ingat itu.
Pertama, gedung PTIK, lahan PTIK yang akan dirilslah. Padahal menurut peraturan pemerintah harus izin ada izin Presiden, Sekeu, Departemen Keuangan. Dia mau rislah, dananya mau diambil sebagian untuk membuat Markas Besar Polisi, yang waktu itu terbakar.
Kedua, masalah mobil Timor. Mereka membeli mobil Timor 1033 dengan harga 60 juta, padahal saya marinir membeli mobil timor dari Mas Bambang 24,550 juta.
Ketiga, masalah senjata. Dia mengajukan kepada Dephan, Pak Yuwono, minta 16.000 membeli senjata AK 97 dengan harga 63 juta. Beliau minta disposisi kepada saya. Saya lalu menghadap. Saya katakan, bahwa Senjata AK 97 ini dengan harga 7 juta.
Lebih aneh lagi kok minta 16 ribu (pucuk). Seingat saya, Marinir, anak buah saya cuma 16 ribu. Dan seingat saya Brimob itu tidak sampai sepertiga Marinir. Selebihnya senjata untuk siapa? Padahal proses pengajuan senjata itu dilihat dari klasifikasi senjatanya. Klasifikasi dilihat mana yang rusak berat, sedang, ringan. Keuangan kita hanya mencapai itu. Untuk rusak berat yang dibeli, itu yang rusak berat. Rusak ringan maupun rusak sedang masih dikalibrasi dengan depo senjata, yang ada di angkatan masing-masing.
Keempat, dana operasional SIM dan STNK. Dana ini adalah dana publik, uang rakyat. Polisi tidak boleh mengatur itu. Seharusnya SIM dan STNK ini dikerjakan oleh Depkeu dan Sekeu Departemen Perhubungan. Bukan oleh polisi. Ini yang harus diluruskan. Harus di reformasi. Kalau Mabes Polri perlu anggaran, dia harus mengajukan daftar usulan pembangunan kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengalokasikan dana sesuai kemampuan, dana harus masuk pemerintah dulu tidak boleh langsung dikelolahartanyaukan sampai angka 45-46 Miliar. Saya kemudian cek ke Singapura alat komunikasi dengan spesifikasi dan merek ini berapa harganya untuk sekian unit. Saya dapatkan harga tidak sampai 5 M. Lalu terjadi kehebohan. Bahkan sampai bocor ke media. Saya lalu bilang kepada Pak Yuwono, “Kalau kebocoran itu berasal dari saya, hari ini saya siap untuk dipecat.”
Bagaimana mengetahui bocor atau tidaknya di wartawan. Oh gampang Pak, saya kalau membuat laporan tebusannya itu ada nomornya. Jadi nomor 1 adalah bapak Menhan, nomor 2 ini, lihat saja di wartawan pak itu jatuh dicopy nomor berapa. Kalau itu copy ada di dalam lingkungan Dephan, saat itu saya berhenti. Dan ternyata kebocoran itu ada di pihak Polisi sendiri, karena saat itu ada persaingan tahta kepolisian.
Ini ilustrasi saya yang bisa disampaikan terkait hubungan antara TNI dan polisi. Dan hal ini memang harus diselesaikan. Polisi kita sudah diciptakan seperti TNI. Unit non kombatan sudah kita jadikan seperti kombatan. Dan mereka sendiri sudah nikmat dan sulit untuk bisa kita ubah.
Tampaknya Polisi sudah merasa nyaman dengan Sistem ini. Saya kira satu-satunya jalan adalah merangkul kembali Polisi dan TNI dalam satu badan dan harus kita pikirkan kemana larinya? Atau posisi yang kedua mereka dikembalikan kepada Departemen Dalam Negeri seperti yang diwacanakan oleh Jokowi-JK.
Mereka dulu paparan di Dephan, pokoknya kalau Mas Harto sudah pindah dari Dephan, kita akan paparan ulang di Dephan. Setelah saya tidak di Dephan lagi, konsep itu diterima oleh DPR. Itu yang saya takutkan.
Makanya sistem ini terus berjalan. Apakah ini merupakan skema pelemahan NKRI? Menurut saya ya. Sulit kita pungkiri kalau hal ini bukan merupakan bagian dari grand desain untuk pelemahan Republik ini.
Saya melihat bahwa pelemahan Republik ini sudah sejak tahun 1955. Sejak maklumat wakil presiden nomor 50. Disitulah saat Indonesia dimasuki oleh alam liberal. One man one vote.
Disinilah awal kita meninggalkan amanah founding fathers kita yang terdiri dari berbagai suku. Maaf kalau saya katakan, terserah mau dinilai apa saya nanti. Maklumat Wapres itu wujud daripada pengkhianatan. Seperti kami di TNI, dalam kesatuan Batalyon, ada keluar perintah Wakil Komandan Batalyon. Wadanyon baru bisa memberikan perintah pada pasukan saat Komandan Batalyon mati. Begitu juga di Republik ini, maklumat Presiden harusnya baru bisa keluar bila Presiden sudah mati.
Kita sudah meninggalkan kebersamaan. Kita sudah meninggalkan semangat gotong royong. Kalau kita bicara gotong royong, bukan hanya sekedar pilar bangsa kita tapi juga dasar bangsa. Dimana dari dasar negara tersebut, ditegakkanlah pilar-pilar tersebut. UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Disitulah tiga pilar itu berdiri. Jadi bukan empat pilar berdiri disitu.
Sekarang kita sudah tahu kelemahan-kelemahan kita? Seperti pelajaran budi pekerti apakah masih diajarkan di sekolah? Sayang sudah dihapus. Padahal budi pekerti itu adalah bagian yang paling dasar dari Pancasila. Kita sudah tidak mengenal lagi gotong royong. Termasuk pelajaran ilmu bumi sudah tidak diajarkan lagi. Supaya apa? Supaya warga negara kita, anak bangsa kita tidak mengenal lagi tanah airnya.
Saya terperangah pada saat ada perlombaan di televisi, dimana pelajar-pelajar SMA sebagai pesertanya tidak tahu Pontianak itu ada dimana. Ya Allah, Ya Rabbi. Itu juga bagian dari pelemahan.
Seperti halnya Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masa dia katakan Banjarnegara di Jawa Barat. Nah itu adalah produk. Kalau dia katakan, dia adalah tokoh Pancasila, rasanya tidak percaya saya. Saya kira itu pelemahan.
Apakah nanti TNI dan Polri bersatu lagi dalam rangka penguatan NKRI, kita bisa kaji lagi. Yang jelas, seperti kita saksikan sekarang ini mereka sudah memberikan kontribusi kepada pelemahan NKRI. Karena memang sudah samar wilayahnya. Samar sektornya. Ini kombatan, non kombatan atau dua-duanya kombatan. Sehingga sekarang bisa gagah-gagahan, mau bedil-bedilan ayo mari. Selama belum mengerahkan tank, loe punya senjata, gue juga punya.
Inilah satu hal yang bisa saya sampaikan. Kedepan saya optimis mereka mampu secara internal menyelesaikan ini. Apabila semua pemimpin kita menyadari bagaimana problema kita dan yakin bisa kita atasi dengan sebaik-baiknya.
Saya melihat hanya ada dua jalan bagi Polisi, pertama kembali kepada Dephan, atau kembali kepada Depdagri. Yang pertama tidak populer, apalagi sekarang sedang didengungkan civil society itu bagian di luar ABRI. Padahal kalau kita gali lebih dalam, civil society itu include di dalamnya TNI. Karena TNI itu juga bagian dari rakyat. Rakyat yang bertugas untuk pertahanan namanya TNI. Bidang pemerintahan namanya Pamong, bidang hukum adalah Hakim dan Jaksa semua itu dalam rangka civil society. Itu yang kita tanamkan kepada anak-anak kita. Namun saya tetap memberikan suatu optimisme kepada kita semua, bahwasannya NKRI Insya Allah, jika kita sadar, kita tetap bisa mempertahankannya. Kita tetap memilih NKRI daripada kita memilih 47 negara bagian. Terima kasih.
(Disampaikan oleh Letjen Marinir (Purn) Suharto, Mantan Komandan Korps Marinir Angkatan Laut ke-12 pada acara Diskusi Terbatas Akhir Tahun yang diselenggarakan Global Future)

Minggu, 17 April 2016

Tentang Malam yang Penuh Kemuliaan


“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar,” (QS al Qadr: 1-5).
Ada riawayat yang mengisahkan, suatu kali Rasulullah hampir saja membuka tabir kapan malam Lailatul Qadar terjadi. Sahabat Ubadah ibnu Shamit menceritakan kisahnya, “Rasulullah keluar untuk memberitahu kami, mengenai waktu tiba malam Lailatul Qadar. Tapi kemudian, ada dua orang laki-laki yang berdebat dan berbantah-bantahan.”
“Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahu kalian. Tapi tiba-tiba si Fulan dan Fulan berbantah-bantahan. Lalu, diangkatlah pengetahuan tentang waktu Lailatul Qadar. Namun hal itu lebih baik untukmu. Maka, carilah dia pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima,” sabda Rasulullah yang mulia. (Shahih Bukhari)
Dari penggalan hadits di atas, setidaknya kita belajar dua hal lain selain malam mulia yang lebih baik dari 1000 bulan. Pertama, ternyata kita memang teramat senang berbantah-bantahan. Hari ini, kita tidak saja berbantahan, tapi lebih maju lagi dari sekadar berbantahan, kita diadu dengan berbagai nama dan bingkai. Ada kalanya disebut debat kandidat di ranah politik. Ada kalanya dipanggil dialog terbuka untuk masalah-masalah sosial. Semuanya adalah nama lain dari berbantah-bantahan. Tidakkah kita menyadari, dengan berbantahan dulu kita telah kehilangan pengetahuan yang sangat berharga. Tidakkah kita mempelajari, berbantahan hanya kian meruncingkan perbedaan yang ada?
Pelajaran kedua adalah, tentang pengetahuan kita yang minim atas malam Lailatul Qadr. Tentu saja agar kita menebar jaring lebih lebar, berusaha lebih keras dan berjuang habis-habisan. Sebab, balasan yang diberikan sungguh sangat besar.
Dalam firman-Nya Allah menjelaskan, “Haa miim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,” (QS Adh Dhukhaan: 1-4).
Pada malam itu, dijelaskan segala urusan. Siapa yang mendapatkannya, maka ia menjadi hamba pilihan yang, tidak saja tahu, tapi memahami segala urusan manusia, atas seizin-Nya. Begitu banyak urusan manusia; rezeki, jodoh, umur, keluarga, kehidupan, bahkan kematian. Semua urusan. Malaikat-malaikat turun atas izin-Nya membawa dan menjelaskan segala urusan. Dan inilah hakikat kehidupan, mengetahui tujuannya, memahami urusannya dan menyempurnakan prosesnya.
Demi Allah yang Maha Besar, sungguh betapa beruntungnya mereka yang mampu menguak rahasia kehidupan dan mendapatkan lailatul qadar.
Tentu tidak mudah. Pasti tidak ringan. Hasil besar menuntut usaha yang besar pula. Dari Sayyidatina Aisyah ra, Rasulullah mengajarkan doa yang sangat Indah. Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, seandainya aku tahu suatu malam adalah lailatul qadar, apa yang sebaiknya aku baca dan panjatkan?”
Lalu Rasulullah bersabda, “Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fuannii. Allahuma ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, lagi mencintai para pemohon ampun, maka ampunilah kami,” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah).
Malam itu, ampunan berlimpah-limpah. Lebih banyak dari hitungan ombak yang sampai ke pantai. Lebih besar dari gunung-gunung yang paling besar. Lebih hebat dari angin yang paling dahsyat. 
Siapa saja pada malam itu mendapatkan ampunan, maka dia adalah hamba yang penuh keberuntungan. Siapa saja pada malam itu mendapatkan kebaikan, sungguh dia adalah hamba yang mendapatkan kemenangan.
Pada zamannya, ketika waktu mendekati malam-malam mulia ini, Rasulullah mengencangkan kainnya, menghidupkan malam dan membangunkan istri-istri beliau. Mengapa beliau mengencangkan kain, menghidupkan malam dan membangunkan istri-istrinya? Karena malam ini adalah malam istimewa.
Tak satupun dari manusia, memiliki kemampuan melihat kapan lailatul qadar tiba. Hanya Rasulullah saw saja. Tapi beberapa orang tercatat pernah memberikan kesaksian tentang lailatul qadar. Salah satunya, laksana seperti sujud di atas air yang melimpah, segar menyejukkan. Wallahu a’lam.
Tapi yang pasti, ciri-ciri lailatul qadar disebutkan dengan terangnya. Malamnya berwarna merah lembut, mungkin diiringi hujan ringan dan angin yang tenang. Malam yang menyenangkan.
Sungguh bukan hanya ciri malamnya saja yang menyenangkan, tapi kandungan yang ada di dalamnya sangat menggembirakan. Diampuni dosa yang silam. Dijaga dari dosa yang akan datang. Dilimpahi kebaikan sepanjang umur dikandung badan. Subhanallah, betapa aneh jika ada seorang hamba yang tak menghendakinya.
Ciri-ciri dari mereka yang mendamba, adalah hamba yang memuliakan hari istimewa itu dengan ibadah dan ketaatan hanya kepada Allah saja. Shalat, tilawah dan berdoa, bersedekah, silaturahim, amal shalih seringan apa pun dan qiyamulail harus memenuhi hari-hari itu. Tebar jaring seluas mungkin. Berusaha sekerasnya. Semoga ridha Allah menaungi kita.
Berdiri dan berdoa, dzikir dan tilawah, munajat dan tafakur harus mewarnai hari-hari terakhir kita di bulan mulia. Dengan satu harapan, semoga Allah mencatat kita sebagai hamba-hamba yang penuh harap dan mendamba.

JANGAN KATAKAN KAMU BERIMAN SEBELUM DIUJI...

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Ujian yang tiada henti-hentinya menimpa kaum mukmin baik lelaki atau wanita yang mengenai diri, harta dan anak-anaknya, tetapi dia bersabar, dia akan menemui Allah dalam keadaan tidak berdosa." (HR At-Tirmidzi)
JANGAN KATAKAN KAMU BERIMAN SEBELUM DIUJI...
Allah berfirman kepada malaikat-Nya bermaksud : "Pergilah kepada hambaKu. Lalu timpalah bermacam-macam ujian kepadanya kerana Aku mahu mendengar suaranya."
Allah telah berfirman: "Apakah manusia mengira bahawa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?" (QS Al-Ankabut:2-3).
Manusia tidak cukup dengan hanya berkata: "Kami telah beriman..." Mereka tidak dibiarkan membuat dakwaan seperti itu hingga terdedah kepada ujian dan membuktikan kebenaran dakwaan mereka.
Firman Allah SWT bermaksud: "Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amal perbuatannya." (QS Al-Kahfi:7-8).
secara terang difirmankan olehNya bermaksud: "Dan kami akan uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cubaan dan kepada Kamilah kamu akan kembali." (QS al-Anbiya:35).
sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi bermaksud: "Sesungguhnya bagi setiap umat ada ujian dan ujian bagi umatku ialah harta kekayaan."
dalam firman-Nya bermaksud: "Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika menganggap dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu tempat kembali." (QS Al-Alaq:6-8)
Sabda Rasulullah SAW: "Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khuatirkan atas kamu, akan tetapi aku khuatir sekiranya kemewahan dunia yang kamu dapat sebagaimana yang telah diberikan kepada orang sebelum kamu, lalu kamu bergelumang dalam kemewahan itu hingga binasa, sebagaimana bergelumang dan binasanya umat terdahulu." (HR Bukhari)
Rasulullah SAW dalam sabdanya: "Sepeninggalanku tiadalah yang ujian yang lebih berbahaya kepada kaum lelaki kecuali godaan kaum wanita." (HR Bukhari)
dalam firman-Nya bermaksud: "Dan antara manusia ada yang berkata: "Kami beriman kepada Allah." Tetapi apabila mendapat gangguan dan rintangan dalam melaksanakan perintah Allah, dia menganggap gangguan itu seakan-akan seksaan daripada Allah. Dan jika datang pertolongan daripada Allah, mereka pasti akan berkata: "Sesungguhnya kami berserta dengan kamu (kaum mukmin)." Sesungguhnya bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada manusia? Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang yang beriman dan benar-benar mengetahui orang yang munafik." (QS Al-Ankabut:10-11).
Rasulullah SAW pernah bersabda: "Ujian yang tiada henti-hentinya menimpa kaum mukmin baik lelaki atau wanita yang mengenai diri, harta dan anak-anaknya, tetapi dia bersabar, dia akan menemui Allah dalam keadaan tidak berdosa." (HR At-Tirmidzi)

Rabu, 13 April 2016

Anti Plurarisme


Siapa yang melarang Anda ke Gereja ? Silahkan Anda ke Gereja. Kalau udah ke Gereja, jangan ajak Muslim ikut2an ke Gereja ya. Tiap jam juga boleh ke Gereja. Monggo, asal jangan ajak Muslim.
Ketika menyebut saya domba tersesat, saya santai2 aja kok. Bahkan kalau ada kata yang lebih dahsyat untuk menggambarkan ketersesatan saya, saya siap. Pun begitu seharusnya ketika saya meyakini dan menyebut non Muslim dengan diksi yang sangat sederhana dari Al-Qur'an: "kafir".
Kenapa harus tersinggung dengan terminologi Al-Qur'an untuk menyebut eksternal Islam ? Ini seperti "domba tersesat" bukan ?
"Yaa ayyuhal kaafiruun, laa 'abudu ma ta'buduun" ... "Lakum dinukum waliyadiin". Ini surah tentang anti pluralisme.
Surah Al-Kaafiruun adalah surah anti pluralisme, sejak ayat pertama hingga ayat terakhir.
Ayat 1. Rasulullah (yang benar), menyapa orang yang salah dengan sebutan, "yaa ayyuhal kaafiruun", hai orang2 kafir. Ini anti pluralisme.
Kenapa ada terminologi kafir ? Lanjut ayat 2 nya. "Laa 'abudu ma ta'buduun". "Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah".
Sebutan kafir karena ada perbedaan yang disembah. Allah dan selain Allah. Ini yang membedakan Muslim dan kafir.
Ditutup dengan penegasan "lakum dinukum waliyadiin" untukmu agamamu dan untukku agamaku. Kita beda, Anda salah, kami benar. Jangan campur aduk.
Kita berbeda, Islam disisi sini (benar) dan kafir disisi sana (salah). Kami Muslim anti pluralisme. Gak masalah kan ?
Mungkin agama lain bisa menerima pluralisme tanpa merasa rugi sedikitpun. Kalau Islam tidak bisa, kami punya prinsip. Hanya Islam yang benar.
Ketika meyakini Islam dan Kristen itu sama2 benar, maka keduanya jadi tidak penting.
Ketika menjadikan cantik sebagai kriteria calon Istri, maka cantik dan tidak cantik itu berbeda, tidak sama, dan penting.
Jika ke Masjid dan ke Gereja itu sama nilainya, maka keduanya tidak penting. Mau ke Masjid atau ke Gereja sama aja.
Bagaimana bisa membenarkan Islam yang haramkan babi tapi juga sekaligus membenarkan Kristen yang halalkan babi ? Bagaimana bisa membenarkan Islam yang menggugat trinitas, tapi sekaligus disisi lain juga membenarkan Kristen yang meyakini trinitas ? Split personality ?
Bagaimana mungkin meyakini Islam yang membenarkan "tiada Tuhan selain Allah" tapi sekaligus membenarkan penuhanan selain Allah ?
Para pendukung paham pluralisme ini mengalami split personality akut. Membenarkan sesuatu yang saling diametral. Membenarkan "A" tapi juga membenarkan "negasi A". Ini kekacauan jiwa.
Kata Al-Qur'an, yang bukan Muslim itu kafir dan semua yang kafir masuk neraka. Kok bisa Muslim gak boleh meyakini ini ?
Begitulah ringseknya paham pluralisme, gak ada hubungannya dengan kerukunan pemeluk agama, c ibadah, apalagi tentang kasihan dan tidak kasihan.
Pluralisme adalah agama baru yang justru menihilkan yang lainnya. Pluralisme melunturkan keyakinan pemeluk agama terhadap agamanya. Target utamanya ABG-ABG Muslim yg labil.
Dan gagasan destruktif ini harus dihadang. Jika tidak, negeri ini akan berserak ababil2 korban JIL.

Senin, 11 April 2016

HARAMNYA KHAMR



Ketika ayat mengenai peng-haram-an minuman keras (khamr) diturunkan Allah, sontak Madinah saat itu banjir minuman keras yg dibuang di jalanan. Umat Islam bergegas memenuhi seruan Ilahi ini dengan membuang semua persediaan khamar yang ada.
Tidak ada alasan dan pembenaran sedikit pun. Tidak ada yg berkata, "Berjualan khamr ini satu-satunya mata pencaharian keluarga. Jika dilarang, keluarga saya makan apa?". Dan atau alasan lainnya. Semua dilakukan totalitas demi iman dan juga ketaatan.

Bagaimana dengan kita sekarang? Ah rasanya malu jika dibandingkan. Kita masih banyak pertimbangan tanda masih meragukan. Kita masih terjangkit akut penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati) yg melemahkan.
Kita memilih mana yg cocok sesuai keinginan. Seperti halnya prasmanan.
Sementara, kita bercita-cita syahid. Masuk surga tanpa hisab. Malu. Benar-benar malu. Sementara ibadah masih segitu-gitunya. Berjuang pun lebih banyak alasan dan absennya. Tabrakan dengan jam kerja lah, sayang istri dan anak-anak lah.
Diminta boikot pabrik rokok, keluarga masih ada yg kerja di sana. Kasihan. Nasionalisasi tambang, saudara kerja di sana. Kasihan anak dan istrinya. Boikot perusahaan telekomunikasi, kitanya belum siap beralih penghasilan yg lain. Memilih 'jihad dengan jalan lain saja' alasan kita. Seakan-akan kita sedang tidak yakin dengan Allah Yang Maha Menjamin Rezeki kita.
Saya jadi membayangkan jika kita hidup bersama Rasulullah atau sahabat atau tabi'in dan tiba-tiba ditabuh genderang perang, jangan-jangan ramai kita mundur ke belakang. Atau cukup saja dengan menjadi seksi dokumentasi di pojokan sambil sesekali mengambil gambar selfie.
"Kaifa akhafu minal faqr, wa ana 'abd al Ghaniy? Bagaimana aku bisa takut miskin, sedangkan aku adalah hamba Yang Maha Kaya?"
Astaghfirullahal 'azhim...

Minggu, 03 April 2016

Identifikasi Kebenaran


Ingat sosok Charlie Chaplin? Betul, Charlie Chaplin yang itu. Memiliki kumis mirip Hitler. Topi tinggi hitam, jas sewarna dengan tongkat panjang. Plus gaya berjalan yang aneh dengan sepatu yang janggal. Sekarang saya ingin bercerita tentang dia.
Hingga dekade 70-80-an namanya masih populer. Sampai-sampai digelarlah sebuah lomba mirip Charlie Chaplin. Ratusan orang yang lulus audisi, yang mendaftar entah berapa banyaknya. Salah satu dari juri yang ditunjuk untuk menilai kemiripan peserta adalah adik kandung Charlie Chaplin sendiri.
Diam-diam, Charlie Chaplin ternyata ikut mendaftar dan ia berlomba dengan ratusan peserta lain. Beradu mirip dengan sosok Charlie Chaplin, dirinya sendiri. Lomba pun usai. Hasil diumumkan. Tapi, yang mengejutkan adalah, Charlie Chaplin yang asli tidak memenangkan perlombaan. Ironis. Ia hanya mampu duduk di urutan ketiga dalam lomba mirip dirinya sendiri.
Ternyata, tidak mudah menilai kebenaran. Dalam kasus Charlie Chaplin, para juri, bahkan adik kandungnya sendiri, telah gagal mengidentifikasi keaslian. Bahkan lebih parah lagi, para juri telah memilih seseorang yang secara subyektif dianggap lebih dekat dengan sosok yang asli.
Dalam kasus ini, kesalahan mengidentifikasi kebenaran, mungkin tidak berdampak besar. Paling-paling, hanya ketersinggungan personal. Itupun, sepanjang saya ketahui, tidak ada laporan yang menyebutkan Charlie Chaplin marah besar. Sebaliknya, Charlie Chaplin adalah komedian brilian yang gemar mengeksplorasi psikologi manusia dan respon sosial.
Bagaimana jika pada tataran yang lebih besar, kita melakukan kesalahan identifikasi kebenaran? Bahkan, karena euforia sosial serta nuansa glamour, kita telah menilai yang tidak benar menjadi benar. Masyarakat kita, sungguh mayoritasnya adalah sebuah struktur yang dilahirkan dan dibentuk oleh imej-imej sosial. Mereka lebih menghargai orang yang kaya, daripada sosok yang sederhana. Mereka lebih hormat pada pangkat, daripada mencari tahu tentang hakikat. Dengan segala imaji, kita telah diarahkan untuk lebih mudah mengakui kebaikan universal sebagai kebenaran, daripada menerima persepsi hitam putih sebagai pilihan.
Berpikiran hitam-putih, benar-salah, disebut sebagai tradisi kaum puritan, jumud dan tertinggal. Karena konon ada area abu-abu yang harus diperhitungkan. Padahal, selamanya tak ada hitungan hampir menang atau hampir benar. Hampir menang sama dengan kalah. Hampir benar, sama dengan salah.
Untuk urusan benar dan salah, kita tak mungkin menerima semua pertimbangan agar boleh diterima semua golongan. Untuk urusan benar dan salah, tak ada posisi banci yang sering disebut dengan kata yang dianggap hebat: moderat!
Rasulullah saw mengajarkan kepada kita, “Berkatalah benar meski pahit.” Ada dua masalah yang harus kita selesaikan dalam konteks ini. Pertama, kita harus melakukan identifikasi kebenaran. Kedua, setelah mengetahui kebenaran, kita berani memikulnya, meski tak ringan.
Buya Hamka pernah mengatakan, sedih itu mengikat kita. Sedangkan marah, akan mendorong kita. Dalam mencari kebenaran, kita tak boleh digerakkan oleh satu di antara keduanya; sedih atau marah. Tapi ketika kebenaran sudah teridentifikasi, kita harus digerakkan oleh kesedihan dan kemarahan. Sedih atas kebenaran yang buram dan marah atas kezaliman yang terang.
Agama ini sungguh sederhana. Benar dikatakan sebagai kebenaran. Salah disebutnya sebagai kesalahan. Kata, Kafir, tak bisa dianggap sebagai kata yang kasar atau kejam. Kafir adalah kafir, tak ada hubungannya dengan kata-kata yang kasar atau lembut. Tapi imaji yang dibentuk, orang-orang Muslim yang menyebut mereka di luar Islam sebagai kafir, sebagai kaum biadab yang tak berbudi dan anti toleransi.
Ketika mereka yang mengerti agama (para pemimpin kita, atau mereka yang sepihak merasa memimpin kita), merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan, mereka belum tentu benar. Lalu mereka melakukan justifikasi, agar seolah-olah benar. Lalu karena justifikasi itu, kita menganggap keputusan itu benar. Maka terjadi kesalahan ganda yang fatal. Pertama, para pemimpin itu melakukan justifikasi atas kepentingannya sendiri. Kedua, kita menganggap kepentingan itu sebagai kebenaran. Karena itulah, kemaksiatan yang dilakukan orang-orang berilmu jauh lebih berbahaya jika kemaksiatan yang sama dilakukan oleh orang-orang awam.
Penerima hadiah Nobel fisika, Steven Weinberg yang ateis pernah berkata, “Dengan atau tanpa agama, orang baik akan berbuat baik dan orang jahat akan berbuat jahat. Agamalah yang menjadikan orang baik berbuat jahat.”
Seharusnya kita mampu membuktikan teori Steven Weinberg di atas salah besar. Kita harus mampu dan berani mengatakan, “Dengan tanpa agama, orang baik akan berbuat baik dan orang jahat akan berbuat jahat. Tapi diperlukan agama untuk membuat orang-orang jahat berubah menjadi dan melakukan kebaikan.”

Jumat, 01 April 2016

Memelihara Ketakutan pada Allah

Memelihara Ketakutan pada Allah
Manusia sepanjang umurnya mencari letak, dimanakah bahagia berada. Segala upaya dikerahkan, untuk mencari tahu bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan.
Tahun 2004 silam sebuah film dokumenter tentang Imam al Ghazali dirilis di Inggris dan disutradari oleh, Abdul Latif Salazar. Jika ada waktu, Anda bisa mendapatkannya. Download saja dari youtube dengan judul The Alchemist of Happiness. Sebuah film pendek yang sangat menarik, sebuah upaya menemukan kebahagiaan dan arti manusia yang sesungguhnya.
Salah satu scene film ini menceritakan tentang periode Imam al Ghazali yang dirampok di tengah perjalannya. Imam al Ghazali nampak melindungi sebuah kitab di balik jubahnya. Sang perampok yang merasa tertarik mencoba untuk meminta. “Ini tak berharga untukmu,” kata Imam al Ghazali.
“Lalu mengapa kau melindunginya, seperti ia sangat berharga?” tanya sang rampok.
“Karena ia memang sangat berharga. Ilmu pengetahuan dan kumpulan hikmah,” jawab Imam al Ghazali. Lalu sang rampok merebut kitab itu, menebarnya di udara dan angin membawa pergi lembaran-lembaran yang sangat berharga itu.
“Ilmu dan hikmah, letaknya di sini dan sini!” kata sang rampok sambil menunjuk dada dan kepalanya.
Hari itu Imam al Ghazali merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ia merasa bahwa Allah mengirim khusus sang perampok untuk mengingatkan dirinya. Bahwa memang sepatutnya ilmu dan hikmah berada di dalam dirinya. Bukan di luar, di dalam kitab dan lembaran-lembaran yang banyak jumlahnya. Lalu Imam al Ghazali mulai menghafal semua ilmu yang berhasil dikumpulkan.Tak hanya menghafal, ia juga berusaha sekuat tenaga untuk menjadi ilmu yang mengejawantah.
Imam al Ghazali, menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Tak jauh-jauh, di dalam dirinya sendiri dan menanti untuk ditemukan oleh diri sendiri. Begitu juga dengan kebahagiaan, ia tak pernah jauh. Kebahagiaan hanya perlu ditemukan di dalam diri kita sendiri.
Tentu saja, kebahagiaan bukanlah rumusan terbuat dari, melainkan terdiri atas. Banyak ramuan dan tak pernah tunggal. Dan beberapa di antaranya justru terkesan bertolak belakang. Misalnya saja rasa takut. Betul, sangat kontradiksi. Dan memang kontradiksi, seperti kebahagiaan itu sendiri. Kemana-mana kita mencari, jauh berkelana, tapi ternyata bertemu di dalam diri sendiri.
Dalam salah satu firman-Nya Allah menjelaskan, “...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Faathir: 28)
Sungguh Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa takut kepada Allah tentulah dia akan berangkat sejak permulaan malam. Dan barangsiapa berangkat di permulaan malam, niscaya akan sampai di tempat tujuan. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Dan ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” (HR Tirmidzi)
Tentu mereka yang berilmu akan lebih tahu, kenapa manusia harus lebih takut kepada Allah SWT. Sebab para ulama mengetahui, seumur hidupnya manusia sedang melakukan transaksi dengan Allah SWT dalam hal pembelian surga. Dan surga, tak pernah murah harganya. Apalagi yang membuat manusia lebih bahagia daripada surga-Nya?
Mereka yang berhak atas surga-Nya adalah mereka yang paling takut kepada-Nya. Karena rasa takut itu, makhluk langit menyintainya. Dan ketika makhluk langit menyintainya, maka seluruh makhluk bumi juga akan menyintainya. Hanya iblis dan para begundalnya yang akan terus membenci dan berusaha mencelakai.
Ibnu Abbas misalnya, di bawah kelopak matanya terdapat sepasang garis karena bekas air mata yang mengalir terus menerus membasahi pipinya. Umar ibnul Khattab, pernah jatuh sakit setelah membaca ayat-ayat al Qur’an yang berisi kabar hari akhir. Abu Hurairah pingsan tak sadarkan diri sebanyak tiga kali ketika menceritakan sebuah hadits tentang tiga orang yang mula-mula dibakar oleh api neraka. Kemana rasa takut itu kini? Hilang dan menguap dari kehidupan kita.
Kita nyaris tak pernah takut. Surga dan neraka, nyaris kita anggap hanya cerita. Berpikir surga dan neraka hanya untuk mereka yang rendah dan tak canggih pemikirannya. Bahkan kita tak dibenarkan memiliki rasa takut pada Allah SWT. Lihat saja, sebuah buku terbit dengan bangga, mencantumkan judul dengan pongah: Beriman Tanpa Rasa Takut.
Beruntunglah orang-orang yang takut. Karena mereka akan berhati-hati. Berbahagialah orang-orang yang takut. Karena mereka akan mengubah diri dan mempersiapkan bekal yang lebih baik lagi. “Ya Allah, anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dan kedurhakaan kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi)