Jokowi memberi penghargaan Satya Lencana Kebudayaan ke mendiang Pastor Frans van Lith SJ pada Jum'at, 23 September 2016. Laman Gereja Katolik www.parokisantahelena.or.id memuat tulisan tentang penghargaan pemerintah Indonesia terhadap tokoh Katolik, Frans Van Lith. Berikut sejumlah petikannya:
"Kabar sukacita! Jumat, 23 September 2016, almarhum Romo Fransiskus Gregorius Van Lith (meninggal tahun 1926 pada umur 62 tahun) akan menerima satya lencana setingkat Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta. Romo Van Lith adalah imam Yesuit yang meletakkan dasar karya Katolik di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Pada 14 Desember 1904 Romo Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendang Sono, Kulon Progo. Ke-171 orang tersebut adalah pribumi pertama yang memeluk Katolik. Selain itu, masih banyak lagi kiprah beliau untuk Indonesia tercinta. Ya, meski kelahiran Belanda, Romo Van Lith selalu memperjuangkan kepentingan kaum pribumi. Sungguh, seorang tokoh yang sangat inspiratif!"
Sementara itu, laman koran The Jakarta Post, 21 September 2016, menulis berita berjudul: 'Ismail Marzuki, Van Lith, Martha Tilaar on cultural award winners list.'
"Renowned poet Ismail Marzuki, cosmetic mogul Martha Tilaar and Dutch-born Javanese culture promoter Franciscus Georgius J van Lith are recipients of one of this year’s prestigious culture awards for their outstanding contributions to the promotion of arts and culture in Indonesia."
Jadi, menurut berita The Jakarta Post tersebut, Van Lith mendapat penghargaan bidang budaya karena sumbangannya yang luar biasa dalam bidang budaya di Indonesia. Sejak 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI penghargaan ke 54 orang bentuk apresiasi pemerintah terhadap penguatan karakter bangsa.
"It is expected that the honor of receiving an award will spark narratives concerning the preservation of our culture and in turn inspire other people to contribute to arts and culture in Indonesia,” Hilmar Farid, the ministry’s director general of culture, said on Tuesday."
Penghargaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI terhadap Van Lith ini menarik untuk kita cermati. Sebab, bagi Muslim Indonesia, sosok Van Lith dikenang sebagai tokoh Missionary Belanda yang berhasil memurtadkan begitu banyak Muslim di Jawa. Mengkafirkan atau memurtadkan orang Muslim, bukanlah perkara kecil. Maka, ada baiknya kita menengok kembali kisah perjalanan Van Lith dalam misi pemurtadan kaum muslim di Jawa.
Seperti ditulis situs Gereja Paroki Santahelena, Van Lith disebut sebagai "peletak dasar karya Katolik di Jawa, khususnya Jawa Tengah." Artinya, Van Lith dianggap sebagai peletak dasar misi Katolik di Jawa. Sebuah kisah yang dianggap monumental oleh kaum Katolik adalah ketika pada 14 Desember 1904 Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang yang merupakan kaum pribumi pertama yang memeluk Katolik.
Penyebaran agama Kristen dengan strategi budaya Jawa pada dekade pertama abad XX, misalnya, terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit dan juga misi Katolik pada umumnya. Kiprah van Lith dalam soal budaya Jawa pun terkait dengan kiprahnya sebagai misionaris. Salah satu murid Van Lith yang kemudian diangkat sebagai Uskup pribumi pertama adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.
Dalam bukunya, 'Katolik di Masa Revolusi Indonesia', Jan Bankmenceritakan, bahwa Soegija lahir di Kota Solo, 25 November 1896. Ia masuk agama Katolik saat belajar di sekolah guru di Muntilan yang didirikan Pater Van Lith. Tahun 1919 ia dikirim ke Belanda dan 1922 memasuki Society of Jesus. Di sana ia menjadi murid Rektor Willekens. Pada 15 Agustus 1931, Soegija ditahbiskan sebagai Pastor oleh Uskup Van Roermond di Maastrict. Tahun 1933, Soegija kembali ke Indonesia dan pada 1934, ia diangkat menjadi kapelan (pastor pembantu) di Bintaran, sebuah kampung di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi pastor. Tahun 1940, ia diangkat menjadi Uskup.
Buku 'Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang' karya Dr. Th. Van den End dan Dr. J Weitjens SJ menuliskan sekilas kisah Soegija bersekolah guru dan mengubah agamanya menjadi Katolik di bawah asuhan Van Lith: "Ada beberapa hal yang diutamakan Pastur Van Lith: murid-murid Muntilan hidup dalam internaat-asrama supaya pendidikan sungguh-sungguh membina orang dewasa berkeribadian. Pastur sendiri kerap kali pergi ke Yogya, Solo, dan tempat-tempat lain untuk mencari murid: Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono dan Soegija adalah di antara murid-muridnya yang terkenal. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis."
Posisi sekolah guru (Kweekschool) asuhan Van Lith diuntungkan oleh kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak ke misi Kristen di Hindia-Belanda (Indonesia). Lulusan sekolah ini diberi hak sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. Dalam buku 'Ragi Carita' disebutkan, bahwa lulusan Kweekschool Muntilan "harus berani berkecimpung di seluruh masyarakat Indonesia, menjadi ragi di mana pun mereka bekerja."
Perkembangan Katolik di Jawa lumayan pesat. Pada 1940 sudah ada sekitar 500 sekolah Katolik, dengan sekitar 56.000 murid dan lebih dari 1.300 guru pribumi. Pada situasi seperti itulah, pada 4 Agustus 1940, Pope Pius XII mengangkat Albertus Soegijapranata SJ, sebagai Vikaris ApostolikSemarang, sebagai uskup pribumi pertama. Pada 1939, Soegija diangkat sebagai penasehat pribumi pertama bagi superior Serikat Yesus (SJ).
Tentang strategi misi dalam membawa orang-orang Jawa ke Katolik, Frans Van Lith menekankan perlunya para misionaris mempelajari bahasa dan budaya lokal:
"Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduism, Budhism, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini."
Untuk minta dukungan pemerintah Belanda, Pastor Van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal Idenburg. Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Buku 'Van Lith' menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang dengan 1 hasrat: "mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik."
Digambarkan, bahwa saat itu, di Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama. Pola kristenisasi melalui pendidikan, sebagaimana dilakukan Van Lith, ternyata cukup efektif. Diceritakan dalam surat Pater I Vogels ke para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910: "Jum'at lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Muslim dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Muslim."
Pater Van Lith sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat, masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: "Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan."
Dalam menjalankan misinya, Van Lith pun sangat fanatik terhadap budaya dan bahasa Jawa sembari mengritik keras pengembangan bahasa Melayu di Jawa. Padahal, saat itu, bahasa Melayu makin menjadi sarana penting untuk menumbuhkan identitas di antara gerakan nasional. Akan tetapi, menurut Van Lith, bahasa Melayu tidak akan berkembang, dan perannya akan digantikan bahasa Belanda. Dalam sebuah kongres bahasa Jawa, Van Lith memperingatkan agar orang Jawa berbangga dengan bahasa Jawa dan menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah. Ia berpegang pada pepatah: "sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas 2."
Saat Kristen atau Katolik Indonesia menjalankan misinya di tanah Jawa, sebenarnya penduduk Jawa sudah Muslim. Setidaknya, budaya Islam sudah berakar di tanah Jawa. Bahkan, pemerintah penjajah Belanda pun menganggap "semua Jawa adalah Muslim." Karena itu, Belanda hanya memberi wewenang ke Penghulu untuk mencatat perkawinan di Jawa. Ketika itu, pemuda Jawa yang berpindah agama menjadi Kristen sampai mengalami kesulitan dalam mengurus pencatatan perkawinan. Dalam suratnya ke Mgr. E Luypen, tahun 1902, Van Lith menyebutkan, bahwa pemuda Katolik yang menikah akhirnya meninggalkan Gereja Katolik karena setelah perkawinan mereka, "mereka menjadi bagian dari kawanan Muslim." Untuk itu, Van Lith minta ijin pemerintah Belanda, agar ia dibolehkan melakukan pencatatan perkawinan.
Contoh lain kuatnya pengaruh Islam dalam budaya Jawa adalah masalah Khitan. Kaum Katolik umumnya, berpegang ke surat Paulus pada penduduk Galatia (Gal 5, 2): "Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu: Jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu." Dengan berbagai pertimbangan, Van Lith tidak menentang praktik sunat di kalangan Katolik di Jawa, karena sunat tidak lagi memiliki makna keagamaan. Akan tetapi, Van Lith menentang tambahan doa Arab dalam sunatan sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.
Sejak 1876, seluruh misi Katolik dipercayakan ke Jesuit Belanda meskipun Vikarisnya tetap seorang diosesan. Tahun 1893, diangkatlah seorang Jesuit, Mgr. W Staal, sebagai Vikaris Batavia. Saat itu ada sekitar 30 Jesuit yang bekerja di wilayah Indonesia. "Mgr. Soegijapranata merupakan salah satu dari Jesuit-Jesuit pertama yang lulus dari Kolese Xaverius Muntilan."
Mgr. I Suharyo, dalam tulisannya bertajuk 'Refleksi Perjalanan dan Arah ke Depan Keuskupan Agung Semarang' menyebutkan bahwa Soegija sangat mencitakan terwujudnya Gereja yang mengakar dalam budaya setempat. Tahun 1956, Soegija mengizinkan penerimaan sakramen Baptism dengan bahasa Jawa atau Indonesia. "Kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, slawatan digunakan sebagai media untuk pewartaan. Gamelan dianjurkan digunakan dalam Liturgy. Segala usaha ini didukung dengan memajukan bidang pendidikan yang tetap sebagai bidang pelayanan yang akan berdampak jauh ke masa depan."
Lalu, disimpulkan: "Yang dicita-citakan adalah Gereja yang dengan bahasa Injil, benar-benar menjadi garam di dalam masyarakat. Dan tidak boleh dilupakan, Gereja di wilayah Keuskupan Agung Semarang ini berkembang secara menakjubkan berkat darah para martir yang telah menyuburkan benih-benih iman, harapan, dan kasih Kristiani yang telah disebarkan oleh begitu banyak orang."
Demikianlah semangat misi Kristen untuk mengubah agama orang Jawa, dari Islam menjadi Kristen. Berbagai cara telah dan terus digunakan untuk menjalankan misi tersebut, khususnya dengan media budaya Jawa. Tokoh utamanya adalah Frans Van Lith. Kini, tokoh pemurtadan orang Muslim di Jawa itu diberi penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya RI, karena dianggap berjasa dalam pengembangan budaya di Indonesia.
Kaum Muslim senantiasa memandang bahwa upaya-upaya penyesatan atau pemurtadan terhadap kaum Muslim adalah hal yang sangat serius, karena terkait dengan keselamatan iman. Disebutkan dalam Quran, yang artinya: "Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup." (QS Al-Baqarah: 217). "Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamorang-orang kafir itu akan dikumpulkan." (QS Al-Anfal: 36).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Prof. Hamka menulis dalam Tafsir Al-Azhar Juzu’ IX:
"Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Di antara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya."
Semoga umat Islam Indonesia bisa mengambil hikmah dari kisah sejarah Frans Van Lith ini. Sebab, umat Islam juga mendapat amanah untuk melanjutkan dakwah para Nabi; yakni menegakkan kalimah Tauhid, dan meruntuhkan kemusyrikan atau kekufuran. Namun, umat Islam perlu paham, bahwa kaum Kristen juga merasa berkewajiban menyebarkan agama mereka. Bahkan, semangat untuk mengkristenkan Indonesia begitu besar digelorakan oleh kaum Evangelist Kristen.
Sebuah buku berjudul 'Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus', menulis, bahwa Indonesia kini telah siap melakukan transformasi menjadi Kristen. Katanya, kesempatan emas saat ini tidak boleh disia-siakan, karena batas waktunya bisa lewat, sebagaimana pernah terjadi di masa Soeharto: "Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa kepada orang Kristen dan China, karena pada waktu Suharto menjadi Presiden, ia begitu dekat dengan orang Kristen dan China. Kesempatan demi kesempatan diberikan kepada orang China dan Kristen untuk melakukan bisnis di berbagai bidang. Trio RMS (Radius Prawiro, Mooy, J. B. Sumarlin) di bidang ekonomi beragama Kristen. Itu kesempatan yang diberikan kepada orang Kristen supaya bangsa ini menjadi bangsa yang mengenal Tuhan, tetapi orang Kristen dan gereja tidak siap, sehingga pada tahun 1990-an, waktu Suharto melirik kelompok lain, kelompok tersebut menuding bahwa 2 kelompok (Kristen dan China) adalah biang keladi segala persoalan yang ada."
Kaum Kristen misionaris ini pun menegaskan: "Umat Tuhan harus setia memberikan yang terbaik, baik uang, pikiran, daya, atau apa pun dan menyerahkannya kepasa Tuhan agar Ia menjamahnya sehingga terjadi multiplikasi sumber daya yang luar biasa. Umat Tuhan, inilah waktunya. Inilah saatnya janji Tuhan digenapi di Indonesia."
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala menyelamatkan umat dan bangsa Indonesia dari paham-paham dan gerakan pemurtadan. Amin.
Jawaban Adian Husaini:
Misionaris Belanda dapat Penghargaan Setingkat Pahlawan Nasional Indonesia [1]
Bagi muslim Indonesia, sosok van Lith dikenang sebagai tokoh misionaris Belanda yang berhasil memurtadkan begitu banyak orang muslim di Jawa.
Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada 23 September 2016, laman Gereja Katolik www.parokisantahelena.or.id, memuat tulisan tentang penghargaan pemerintah Indonesia terhadap tokoh Katolik Frans van Lith. Berikut sejumlah petikannya:
“Kabar sukacita! Jumat, 23 September 2016, almarhum Romo Fransiskus Gregorius Van Lith (meninggal tahun 1926 pada umur 62 tahun) akan menerima satya lencana setingkat Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta. Romo Van Lith adalah imam Yesuit yang meletakkan dasar karya Katolik di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Pada 14 Desember 1904 Romo Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang di Sendangsono, Kulon Progo. Ke-171 orang tersebut adalah pribumi pertama yang memeluk Katolik. Selain itu, masih banyak lagi kiprah beliau untuk Indonesia tercinta. Ya, meski kelahiran Belanda, Romo Van Lith selalu memperjuangkan kepentingan kaum pribumi. Sungguh, seorang tokoh yang sangat inspiratif!” (http://www.parokisantahelena.or.id/2016/09/franciscus-georgius-josephus-van-lith/)
Sementara itu, laman Koran The Jakarta Post, 21 September 2016, menulis berita berjudul: “Ismail Marzuki, Van Lith, Martha Tilaar on cultural award winners list.”
“Renowned poet Ismail Marzuki, cosmetic mogul Martha Tilaar and Dutch-born Javanese culture promoter Franciscus Georgius J van Lith are recipients of one of this year’s prestigious culture awards for their outstanding contributions to the promotion of arts and culture in Indonesia.”
Jadi, menurut berita The Jakarta Post tersebut, van Lith mendapat penghargaan bidang budaya karena sumbangannya yang luar biasa dalam bidang budaya di Indonesia. Sejak tahun 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan kepada 54 orang bentuk apresiasi pemerintah terhadap penguatan karakter bangsa.
“It is expected that the honor of receiving an award will spark narratives concerning the preservation of our culture and in turn inspire other people to contribute to arts and culture in Indonesia,” Hilmar Farid, the ministry’s director general of culture, said on Tuesday. (http://www.thejakartapost.com/news/2016/09/21/ismail-marzuki-van-lith-martha-tilaar-on-cultural-award-winners-list.html).
Penghargaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI terhadap Fransiskus Gregorius Van Lith ini menarik untuk kita cermati. Sebab, bagi muslim Indonesia, sosok van Lith dikenang sebagai tokoh misionaris Belanda yang berhasil memurtadkan begitu banyak orang muslim di Jawa. Mengkafirkan atau memurtadkan orang muslim, bukanlah perkara kecil. Maka, ada baiknya kita menengok kembali kisah perjalanan Frans van Lith dalam misi pemurtadan kaum muslim di Jawa, sebagaimana pernah kita tulis dalam beberapa Catatan Akhir Pekan.
Seperti ditulis situs Gereja Paroki Santahelena, van Lith disebut sebagai “peletak dasar karya Katolik di Jawa, khususnya Jawa Tengah.” Artinya, van Lith dianggap sebagai peletak dasar misi Katolik di Jawa. Sebuah kisah yang dianggap monumental oleh kaum Katolik adalah ketika pada 14 Desember 1904 Van Lith membaptis 171 orang desa dari daerah Kalibawang yang merupakan kaum pribumi pertama yang memeluk Katolik.
Penyebaran agama Kristen dengan strategi budaya Jawa pada dekade pertama abad XX, misalnya, terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit dan juga misi Katolik pada umumnya. Kiprah van Lith dalam soal budaya Jawa pun terkait dengan kiprahnya sebagai misionaris. Salah satu murid van Lith yang kemudian diangkat sebagai Uskup pribumi pertama adalah Albertus Soegijapranata.
Dalam bukunya, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 1999, hal. 40-41), Jan Bank menceritakan, bahwa Soegija – panggilan Albertus Soegijapranata — lahir di Solo, 25 November 1896. Ia masuk agama Katolik saat belajar di sekolah guru di Muntilan yang didirikan oleh Pater Van Lith. Tahun 1919 ia dikirim ke Belanda dan tahun 1922 memasuki Ordo Yesuit. Di sana ia menjadi murid Rektor Willekens. Pada 15 Agustus 1931, Soegija ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Van Roermond di Maastrict. Tahun 1933, Soegija kembali ke Indonesia dan pada 1934, ia diangkat menjadi kapelan (pastor pembantu) di Bintaran, sebuah kampung di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia diangkat mejadi pastor. Tahun 1940, ia diangkat menjadi Uskup.
Buku “Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang” karya Dr. Th. Van den End dan Dr. J. Weitjens SJ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hal. 440) menuliskan sekilas kisah Soegija bersekolah guru dan mengubah agamanya menjadi Katolik di bawah asuhan van Lith: “Ada beberapa hal yang diutamakan Pastur van Lith: murid-murid Muntilan hidup dalam internaat-asrama supaya pendidikan sungguh-sungguh membina orang dewasa berkeribadian. Pastur sendiri kerap kali pergi ke Yogya, Solo, dan tempat-tempat lain untuk mencari murid: Kasimo dan Soegija adalah di antara murid-muridnya yang terkenal. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis.”
Posisi sekolah guru (kweekschool) asuhan van Lith diuntungkan oleh kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal AF van Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak kepada misi Kristen di Hindia Belanda (Indonesia). Lulusan sekolah ini diberi hak yang sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. Dalam buku “Ragi Carita” disebutkan, bahwa lulusan kweekschool Muntilan “harus berani berkecimpung di seluruh masyarakat Indonesia, menjadi ragi di mana pun mereka bekerja.” (Ibid).
Perkembangan Katolik di Jawa lumayan pesat. Pada tahun 1940 sudah ada sekitar 500 sekolah Katolik, dengan sekitar 56.000 murid dan lebih dari 1.300 guru pribumi. Pada situasi seperti itulah, pada 4 Agustus 1940, Paus Pius XII mengangkat Albertus Soegijapranata SJ, sebagai Vikaris Apostolik Semarang, sebagai uskup pribumi pertama. Pada 1939, Soegija diangkat sebagai consultor (penasehat) pribumi pertama bagi Superior Serikat Yesus (SJ). (Ibid, hal. 442).
Tentang strategi misi dalam membawa orang-orang Jawa kepada Katolik, Frans van Lith menekankan perlunya para misionaris mempelajari bahasa dan budaya lokal:
“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.” (Lihat buku “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia”oleh Fl. Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 151-152).
Untuk meminta dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal van Idenburg. Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Buku “van Lith” menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang dengan satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.” (Ibid, hal. 162).
Digambarkan, bahwa saat itu, di Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama. Pola kristenisasi melalui pendidikan, sebagaimana dilakukan van Lith, ternyata cukup efektif. Diceritakan dalam surat Pater I. Vogels kepada para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910: “Jumat lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Moslem dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Moslem.” (Ibid, hal. 162).
Pater van Lith sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat, masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.” (Ibid, hal. 206).* (bersambung)
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar