Kamis, 20 Mei 2010

HARKITNAS 20 Mei Ada Kesalahan Sejarah Yang Harus Diluruskan.




Beberapa waktu yang lalu rame diperbincangkan orang, telah diketemukannya PERAHU NUH, ini menunjukan para ahli sejarah sampai saat ini masih melakukan penelitian walau usianya sudah ribuan tahun. Kalau baru ratusan tahun tentu itu bukan sesuatu yang sulit, apalagi sudah ditemukannya kertas oleh Tsai Lun China pada 101 Masehi.

Kelahiran organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional mestinya menjadi masalah, sebab dipilihnya organasi itu sebagai Organisasi Pertama yang pernah dimiliki masa lalu negeri ini ternyata tidak tepat, sebab ada organisasi yang lebih tua lagi yaitu organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905.

Para ahli sejarah negeri ini seharusnya tertantang untuk mengklarifikasi, jika memang hal itu benar. Apalagi peringatan Harkitnas baru dimulai peringatannya pada tahun 1948, maklum mungkin waktu itu masih belum terpikirkan untuk saling berdebat atau diskusi tentang hari-hari besar nasional waktu itu.

Apalagi banyak tanggapan bahwa BO tidak pantas dijadikan sebagai tonggak kebangkitan nasional, sebab BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

TANTANGAN UNTUKMU WAHAI AHLI SEJARAH……………………………..

REFLEKSI 20 MEI


20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional, tapi itu adalah Hari Lahirku

Paling tidak namaku bukan nama pasaran seperti yang dikatakan banyak orang, Budi ya.. budi banyak yang pakai nama ini, tapi bukan sembarang Budi yang dipakai oleh ortuku saat aku lahir, mengapa …. Karna Nama itu dipilih bertepatan dengan (DIANGGAPNYA OLEH NEGERI INI) hari lahirnya organisasi pertama di negeri ini.

Brati aku sekarang gak perlu repot-repot merayakan hari ulang tahun, sebab negeri ini dari kota sampai tingkat nasional sudah rame merayakan hari lahir ku.

Syukurlah.

REFLEKSI

Sampai usiaku berkepala 4, masih belum ketemukan :

Pemimpin yang adil, dari tingkat nasional hingga daerah…

Wakil-wakil rakyat yang pro rakyat

Ustad yang peduli dengan umatnya, dan masih banyak lagi….

belum kutemukan

Pendidikan negri ini, jauh telah bergeser dari guru menjadi pendidik kini hanyalah menjadi pengajar. Menteri Pendidkan sebagai orang tertinggi di dunia pendidikan negeri ini, hanya memikirkan value bukan moral. Ujian Nasioonal yang diusulkan banyak orang harus dihapuskan eeeeee… malah nambah proyek baru, adanya ujian nasional susulan….valu…ya hanya value, baik sisi keuntungan proyek tahunan, maupun otak yang hanya diarahkan ke nilai tinggi, akibatnya pendidikan di Indonesia telah melahirkan generasi-generasi sarat kekerasan. Kasus bentrok antar pelajar, perpoloncoan yang berujung kematian. Praktek mesum yang banyak dilakukan pula oleh siswa-siswi sekolah, perkelahian antar geng wanita, geng motor dan lain sebagainya. Serta masih banyak pula anak-anak yang tak menikmati pendidikan. Padahal pendidikan adalah sebuah kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi. Bagaimanalah negeri ini, bila yang bersekolah hanya mereka yang mapan ekonomi. Artinya semua orang miskin di Indonesia tak boleh sekolah. Sedangkan rakyat miskin di Indonesia itu jutaan penduduk. Tak hanya siswanya bermasalah, para pendidikpun bermasalah. Beberapa kasus pencabulan dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum pendidik di beberapa daerah menjadi pelengkap rusaknya pendidikan kita. Beralih ke aspek politik. Politik kadang diidentikkan dengan pengkambinghitaman. Menghalalkan segala cara adalah aplikasinya. Idealisme bukan lagi asas partai politik saat ini, tapi pragmatisme sesaat yang haus kekuasaan. Kemudian juga menjadi ajang ”aji mumpung” bagi mereka yang punya nama untuk mencicipi kekuasaan. Itulah politik kita, politik yang sangat oportunistik.


Hingga tulisan ini dibuat, kasus Bank Century juga masih tanda tanya. Berbagai elemen masyarakat menuntut pemerintah untuk secepatnya menyelesaikannya. Banyak yang memperkirakan kasus ini akan bernasib sama seperti kasus BLBI dan Bank Bali yang hilang seperti ditelan bumi, bila dibiarkan berlarut-larut. Bidang kesehatan juga tak mau kalah dengan problematikanya. Kita ambil satu sampel saja untuk membuka cakrawala kita bahwa aspek ini juga tak lepas dari masalah. Angka pengidap HIV/AIDS hingga kini menujukkan peningkatan yang memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, Juni 2009 mencapai 17.699 kasus. Usia pengidap adalah usia-usia produktif. Penyebab lahirnya penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya ini adalah Narkoba dan seks bebas yang notabene menjadi industri di negara kita. Sangat memprihatinkan. Maka terbuktilah Firman Allah dalam Surat At Thaha ayat 124.


Melihat data fakta di atas, di benak kita harus muncul sebuah pertanyaan ”ada apa dengan negeri ini?” Apakah ini sebuah kesalahan individu-perindividu? atau ada permasalahan mendasar yang mendera bangsa ini. Naiflah kita bila mengira ini hanya masalah individu saja, padahal dampaknya hingga semua sektor kehidupan. Artinya ada sesuatu yang membuat individu itu digiring untuk berbuat salah. Ini adalah kesalahan sistem. Perundang-undangan dan asas Negara kita memberikan jalan bagi para pelaku kejahatan. Membentuk orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai dasar bertindaknya. Sistem demokrasi kapitalis sekuler adalah asas negara kita.


Negeri ini juga menjadikan rakyat (baca:manusia) yang notabene sangat terbatas sebagai penentu benar salah (baca:halal haram). Serta melegalisasi kuasa para kapitalis untuk mengambil harta kekayaan di negeri ini. UU penanaman modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Migas adalah buktinya.


bersambung….untuk refleksi-refleksi berikutnya…….



Minggu, 09 Mei 2010

SERBA INTERNATIONAL

Saya tertarik dengan tilisannya kang pepih yang berjudul “Mau Tahu Seberapa Pantas Gajimu ?” .

Saya merasakan ada nuansa ‘visi modern dan internasional’ yang direfleksikan dengan adanya kekhawatiran soal jangan sampai gaji kita ada di bawah standar dari yang seharusnya bisa (pantas) didapatkan. Namun ada nuansa ‘kearifan tradisional’ yang nrimo ing pandum yang direfleksikan dengan adanya kepasrahan dari apa yang telah diterimanya dari perusahaan tempatnya bekerja selama 20 tahun ini yang sudah terasa cukup untuk menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak.

Jadi seyogyanya cukup bersyukur sajalah. Inilah mungkin ciri khasnya manusia-manusia yang berbudaya timur, tentunya mungkin termasuk diri saya ini. Ada sisi baiknya, namun tentu banyak pula sisi lemahnya.

Bagi para pemimpin yang culas dan zalim, soal nrimo dan pasrah ini akan selalu diekploitasi agar rakyatnya memaklumi kegagalan kinerja pemerintah yang dipimpinnya.

Bahkan dulu, pernah ada ustadz paling kondang yang dengan rela hati menjadikan dirinya sebagai bintang iklan kenaikan harga BBM. Didalam iklan itu, si ustadz mentausiahi rakyat Indonesia agar nrimo dengan kenaikan harga BBM yang berlipat kali itu, dan disikapi saja dengan tawakal.

Giliran disuruh pasrah dan nrimo, rakyat digiring kearah suasana batin yang menghormati ‘kearifan tradisional’.

Padahal disisi lain, setiap kali menaikkan harga komoditi tertentu, seperti harga BBM misalnya, pendukung pemerintah ribut membelanya dengan mengkaitkannya dengan standar harga internasional.

Saat biaya pendidikan perguruan tinggi melonjak naik sebab akibat dari kebijakan BHP/BHMN dan keengganan pemerintah mengucurkan subsidinya, alasannya pun internasinoal, yaitu agar dapat bersaing dengan standar internasional. Semua menjadi serba internasional, termasuk biayanya tentunya.

Namun giliran diperbandingkan dengan biaya pendidikan di India misalnya (ini India juga standar internasional lho) kok malah berang dan marah serta membentak.

Visi internasional itu baik namun jangan hanya dipakai untuk jargon mengelabuhi rakyat, seperti dalam soal hutang Negara dipakai standar internasional yang patokannya adalah Rasio Hutang terhadap PDB. Padahal itu cuma menyembunyikan fakta bahwa jumlah hutang negara yang sebenarnya malahan naik tajam secara jumlah nominalnya.

Ndak masalah sih, jika semua mau diinternasionalkan, termasuk katanya BUMN pun juga akan diprivatisasi kepada pihak asing agar menginternasional. Ndak masalah juga jika biaya hidup juga menginternasional, harga kebutuhan pokok juga menginternasional.

Namun masalahnya, apakah gajimu dan pendapatanmu juga sudah menginternasional pula ?.

Jangan sampai, gaji standar lokal, tapi biaya hidup dan harga kebutuhan pokok berstandar internasional.
Giliran menyekolahkan anak ke perguruan tinggi yang standarnya katanya internasional, gaji yang standar lokal ini tak mampu untuk menjangkau biaya kuliah Universitas Negeri yang biaya kuliahnya berstandar internasional.

Nah gimana ?, Gajimu dan pendapatanmu sudah standar yang menginternasional ?.

Udah apa belum ya ?

Wallahualambishsawa b.