Jumat, 24 Oktober 2008

BATIK PEKALONGAN


Batik Pekalongan, tidak asing mendengar hal ini. Banyak saudara dan teman-teman di Pekalongan yang jadi juragan batik (bos batik). Ada yang dari hulu sampai hilir, dari kain polos menjadi batik semua diolah dalam satu atap. Ada yang 'membeberkan' saja dan yang sekedar punya modal uang. Ada yang hanya punya toko dan masih banyak lainnya untuk menjadi pengusaha batik.

Bukan seni maupun pemasarannya yang aku ambil cerita disini. Tapi disisi KEBERKAHAN.

Dulu dan dulu kala, waktu aku masih bayi suksesnya pengusaha batik Pekalongan sampai-sampai digambarkan: duit kok koyo brengos (uang kok seperti kumis), di cukur tukul maneh (habis di cukur tumbuh lagi). Begitu melimpah uang para pengusaha batik, sampai-sampai bisa pergi haji berkali-kali. Dan sampai-sampai pemerintah otoriter waktu itu turun tangan agar batik bisa 'digoyang'. Karna hampir semua pengusaha batik ber-partai Islam (waktu itu PPP).

Sempat surut batik Pekalongan karna dihantam oleh juragan batik palsu (dengan sablon). Namun pengusaha yang sudah melimpah simpanan modalnya, ia tetap bisa bertahan dan kini bisa bangkit lagi. Bahkan dukungan pemerintah kini sudah lumayan (baru lumayan, karna masih setengah-setengah, barangkali takut kalo umat Islam jadi bangkit).

Pernah di sebuah stasiun televisi ditanyangkan, bagaimana proses batik dibuat di batik Pekalongan. Ia, si pembawa acara sampai menangis melihat proses pembuatannya. Karna pemakai batik tinggal pakai, padahal di balik itu memerlukan ketekukan, ketelitian, nglorot, ber-panas-panas (tapi itu semua bukan juragan batiknya yang melakukan, ada buruhnya).

Jauh .... jauh kalau saya melihat antara buruh batik dengan juragan / pengusaha batik. Mereka pada pengusaha / juragan bisa menikmati keuntungan yang melimpah, kekayaan yang meruah, kehidupan mewah..... tapi para buruhnya, penulis batik atau pemegang canting yang barangkali hanya lulus SD, mereka hidup dalam keterbatasan, hanya mendapat belas kasih dari para pengusaha / juragannya.

Ya... para juragan disamping orang ber-uang, entah dari warisan orang tuanya atau dari usaha sendiri bisa belajar bagaimana bisnis batik agar bisa demikian hasilnya, mereka bisa sekolah ekonomi yang mumpuni, mereka bisa belajar jadi pengusaha dari ilmu-ilmu yang mereka dapatkan dengan uang-uang mereka. Sementara sang buruh hanya punya sedikit waktu yang mereka miliki untuk keluarga, apalagi untuk belajar cari ilmu yang mahal.

KEBERKAHAN, semoga keberkahan dari bisnis Batik para juragan / pengusaha batik bisa memberikan jalan panjang atas usaha ini. Dan semoga para buruh batik bisa paling tidak mengenyam kenikmatan menjadi ahli batik... ya ahli batik. Beda antara pengusaha dan pengrajin (ahli) batik. Tapi jangan terlalu jauh lah jurang antara miskinnya sang buruh dan kayanya sanga pengusaha. Ada sih yang tidak demikian, tapi mayoritas yang demikian.

Demikian.

Kamis, 23 Oktober 2008

Pesan untuk SB

Aku, orang kecil diantara orang-orang Pekalongan, sempat beberapa tahun hendak menuju menjadi orang besar di Pekalongan, namun pupus karna sesuatu hal. (di blogg selanjutnya akan menjadi bahan cerita). Pernah aku menjadi pengisi acara radio di BSP-FM Pekalongan dalam talk show setiap rabu membahas masalah komputer windows dan internet. Aku biasa dipanggil dengan sebutan on-air mr.win, dan dari acara tersebut sering aku dipanggil untuk mengisi di beberapa seminar tentang komputer di Pekalongan. Sebelum itu pun sudah kemana-mana dan dimana menjadi panggilan untuk mengatasi permasalahan komputer. Yang lebih spesifik di Pekalongan lah aku memelopori lahirnya beberapa komputer setting.

Tidak mudah menjadi orang besar. Tantangan dan hambatan akan lebih beragam menghadang. Apalagi aku orannya 'usil', sering omong-omong masalah krusil. Bergabung dengan beberapa organisasi resmi namun juga tidak banyak disukai orang akan keberadaannya. Tidak di zaman orde baru tidak di zaman reformasi, sama saja. Diam dalam masalah krusil akan lebih selamat, tapi ini adalah selemah-lemahnya iman.

Sebagai wong Pekalongan, saya hanya pesan dengan orang-orang sukses dari Pekalongan. Sebab hanya melalui Blogg ini saya bisa utarakan.

Sejak lama aku merasa prihatin dengan saudara-saudara kita yang sudah aku tuangkan di blogg sebelumnya.
Aku prihatin kapan saudara-saudara kita bisa berjualan di los-los toko di mal-mal di Jakarta. Disana hampir seluruh lantai dari penjualan komputer, hp dan alat-alat elektronik lainnya bukan wajah-wajah wong Indonesia apalagi wong Pekalongan.
Aku prihatin, dari kota besar dan sebesar metropolitan ini dimana disana dijajakan obat-obatan palsu, siapa yang bisa mengawasi peredarannya jika obat-obatan tersebut sampai ke kampung-kampung.
Aku prihatin, produk-produk palsu dari sabun, pasta gigi, sampo hingga kosmetik sampai sekarang masih beredar ke warung-warung saudara-saudara kita.
Aku prihatin, jajan dan makanan beracun banyak dijual di depan-depan sekolah. Dan korbannya anak-anak kita sendiri.
Aku prihatin dengan para intelektual kita yang mewakili di DPR baik dari pusat sampai daerah yang selalu gagal dalam membawa misi awal.

Masih banyak keprihatinanku dan mungkin menjadi keprihatinan nasional yang sudah di-titip-titipkan kepada wakil-wakil mereka yang sudah menjadi orang besar bertaraf nasional.

Menjadi orang besar, akan banyak titipan-titipan pesan, akan banyak amanat, akan banyak dosa yang di emban. Mudah-mudahan untuk orang-orang besar dari Pekalongan, anda tidak menjadi orang yang bangkrut di akherat. Yaitu orang yang kehabisan pahala dan amal nya karena untuk menutupi 'hutang-hutang' orang banyak yang meminta pertanggung-jawaban.

Minggu, 05 Oktober 2008

SB sebatas yang kutahu



Bangga rasanya memiliki Wong Pekalongan seperti Soetrisno Bachir, sosok dari Pekalongan sebuah kota kecil tapi kini memikirkan nasib wong sak Indonesia. Sampai saat ini tiada henti-hentinya berbagi keberkahan rizqi atas keluarga SB sangat-sangat dirasakan wong-wong Pekalongan. Sejak jaman orang tuanya simbol BATIK BL (Bachir Latifah) terpampang besar di tengah kota. Bukan sekedar besarnya papan reklame, tapi kebesaran pengaruhnya, kedermawanannya menjadi sejarah yang tak terlupakan. Saat kegiatan bisnis keluarga BL masih terpusat di Pekalongan dengan IKA MUDA dan kemudian grupnya, pengangguran di Kota Pekalongan hampir teratasi. Tidak ada perusahaan yang bisa menyetarai pengaruhnya, sampai-sampai waktu itu jika ada seorang anak gadis yang dilamar staf IKA MUDA, tidak ada orang tua yang bisa menolak, karna pasti akan terjamin. Tidak ada keluarga SB yang menjadi penguasa waktu itu, tapi penguasa daerah sangat menghormati kebijakan keluarga SB.
Keberkahan yang selalu berlipat dari kedermawanan keluarga SB, masih terekam dari benak saya diwaktu saya masih kecil. Saya masih ingat di Jl. KH M Mansyur berton-ton beras dibagikan saat zakat fitrah, dikumpulkannya kyai-kyai dan imam-imam sholat saat menjelang lebaran dan mendapakan bingkisan lebaran. Sampai kini masih berlangsung setiap tahun yang sudah puluhan tahun yang lalu berjalan, para tokoh Pekalongan dari besar sampai kecil diberangkatkan Haji. Pemodal yang sudah bangkrut dari usahanya dihidupkannya lagi.
Saya juga masih ingat ketika SB masa SMA, setiap teman yang jalan dengan beliau saat kapan saja tidak akan kecewa soal ditraktir. Saat di UNIKAL, belum pernah terjadi kepanitiaan 'gojlokan' yang begitu 'rejeh' selain di ketuai oleh SB. Sampai kini masih berlangsung, sudah beberapa kali masyarakat Pekalongan makan gratis se-alun-alun jika SB mengadakan hajatan. Semua warung di-boking dan silahkan masyarakat makan disana dengan cuma-cuma. Padahal waktu itu acara sebuah partai, tapi masyarakat tahu, pasti ini 'ulahnya' SB.
Masih ingat juga ketika temen-temen hendak mendirikan sekolah unggulan terpadu, yang waktu itu belum ada di Pekalongan. Ibu Latifah (almarhum) memberikan dukungan yang tak terbayangkan. Dan SB pun memberikan wakaf tanah. Maka berdirilah sebuah sekolah terpadu.
Berkah. Ya Berkah itulah yang membuat keluarga BL dan kemudian diteruskan oleh SB yang masih menyertai kehidupan keluarga SB turun-temurun. Semoga keberkahan tetap Engkau berikan ya Allah kepada orang-orang seperti SB yang hendak berbuat untuk perubahan masyarakat Indonesia, walau tanpa harus menjadi Presiden.