Kamis, 22 Mei 2008

(Hampir) Setengah Abad "kebangkitan" ku (2)

20 mei 43 tahun yang lalu, aku 'bangkit' dari rahim ibuku. Dan selama itu aku berada di sebuah negara yang semuanya pake duit. Sepertinya aku menjadi pengontrak di negeri sendiri. Kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak menjadi milik negara, dan kita harus bayar. Mulai dari rumah yang kita tempati jalan yang kita lewati, air yang kita minum, sekolah yang kita masuki..semuanya harus ditukar dengan uang..lalu apa bedanya dengan orang asing yang berada di negri ini. "apa kata dunia" ini menjadi iklan di tv untuk menunjukkan bahwa itu semua adalah konsekwensi menjadi warga negara yang baik..taat membayar pajak.
Penghitung yang handal, ahli matematik akan bisa mengitung bahwa orang-orang sukses, pebisnis, orang yang beruntung di negeri ini justru bayar pajaknya lebih kecil dari rakyat biasa. Lalu apa yang salah dengan sistem pajak kita. Di negeri lain ada orang miskin, orang nganggur dapat tunjangan, sekolah full gratis..lalu apa bedanya dengan negri ini.

Yak..pas...itu... pasti kamu akan berkomentar seperti itu.... saya yang bodoh, tidak ngerti bagaimana menjadi warna negara, ngga ngerti gimana urus negara, ngga ngerti gimana susun apbn.

Menjadi orang tanggung di negeri ini, tidak akan beruntung.
Menjadi orang susah di negeri ini hanyalah menjadi masalah.

ya... di negri yang kita cintai ini keberuntungan, kebahagiaan hanyalah bagi mereka yang 'mewarisi' negri ini.

(Hampir) Setengah Abad "kebangkitan" ku (1)

Sengaja ini tidak kutulis tepat pada 20 mei 2008 yang lalu, karna ini bukan perayaan, ini bukan ulang tahun, ini bukan pamer, dan ini bukan membangga-banggakan diri.
Aku memang terlahir pada 20 mei sehingga oleh temen bapakku yang waktu itu carik (sekdes) memilihkan nama yang menurut harapan beliau akan menjadi seorang Budi Utomo yang menjadi nama, yang oleh bangsa Indonesia saat ini di elu-elu kan di banggakan menjadi 1 abad kebangkitan nasional.

Tepat 20 mei 1965, aku menjadi bayi yang dinanti oleh sebuah keluarga yang mendambakan seorang anak laki-laki, sebuah keluarga yang sudah lama tidak memiliki keturunan, orang kota, lumayan berduit...tapi bukan keluarga bahagia. 40 hari sejak aku lahir di boyonglah aku ke kota, dipisahkan aku dari kakak-kakakku yang sudah lahir duluan, yang sehat-sehat dan tidak kurang suatu apa. Aku bersama keluarga baru yang kering akan agama, hidupnya hanya untuk bisnis, pekerja keras, peniti hidup yang tidak kenal lelah. Bapak angkatku berprinsip "jangan tergantung pada orang lain", mandirilah, berjuang sendirilah, jangan terpancing untuk berhutang budi pada orang lain.

Saat usia muda ku pesan dan kesan Bapakku kurang begitu mengena, malah membuat aku selalu antipati pada beliau....... Bapakku...maafkan aku...terima kasih telah memeliharaku sejak kecil, semoga Allah subhanahu wata'ala menerima segala amal-amalmu dan mengampuni segala dosamu...amiiin.

Kini di usia hampir setengah abadku, benar-benar beliau bapakku berpikir jauh kedepan, dan zaman beliau dengan zaman ku ternyata hanya berubah kulit, wajahnya sama, kejamnya sama, piciknya sama, dan sama-sama bersandiwara.
Negri ini ternyata hanyalah milik sekelompk orang-orang penting, sekelompok orang-orang yang merasa berjasa atas lahirnya dan terbentuknya negara, negeri ini bukan milik orang-orang yang pas-pas-an apalagi orang-orang susah.
Wahai orang-orang yang pas-pas-an, wahai orang-orang susah...walaupun kalian nelongso JANGAN TERGANTUNG PADA ORANG LAIN, berusahalah untuk mandiri, terus berusaha, lawanlah ...... lebih baik kalah daripada mengalah.

Hatilah-hatilah dengan wajah sandiwara orang-orang penting, nanti kalian hanyalah akan menjadi budak, jadi korban. Kalian sudah ditakdirkan bukan menjadi pewaris negri ini. Negri ini milik mereka..milik mereka..milik mereka. Merekalah hanya sandiwara, seolah pejabat ini bertarung dengan pajabat itu, tokoh ini seolah bertarung dengan tokoh itu, orang berduit itu seolah bertarung dengan orang berduit ini, bajingan ini seolah bertarung dengan bajingan itu, koruptor ini seolah bertarung dengan koruptor itu, pembela rakyat ini seolah bertarung dengan pembela rakyat itu, penegak hukum ini seolah bertarung dengan penegak hukum itu...sandiwara..sandiwara...mereka hanyalah bersandiwara.

Ketika mereka bertemu, berkumpul, makan bareng, pesta bareng, reuni bareng.. wuuuuuuaaaaahhh kita akan mengira, hatta kita ahli pengamat tingkat pro, ahli pengamat apa saja....kita tidak akan mengira...ooooo ternyata si anu dengan si itu di pentas nasional seolah saling kecam..saling sikat...saling embat....oooohhhh ternyata....ternyata oooohhh ternyata MEREKA SAMA-SAMA PEMILIK NEGRI INI.